Selasa 03 Mar 2015 17:51 WIB

Kebijakan Suku Bunga, Indonesia Bisa Belajar dari Turki

Rep: c87/ Red: Dwi Murdaningsih
BI Rate (ilustrasi)
Foto: Antara
BI Rate (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Bank Indonesia diminta berhati-hati dalam membuat kebijakan penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia Rate (BI rate). Sebab, kondisi ekonomi internal dan eksternal dinilai masih rentan.

Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan, komponen bunga itu merupakan salah satu dari sekian banyak komponen biaya. Sehingga, dengan komponen biaya yang lain naik untuk menurunkan suku bunga akan berbahaya bagi perkonomian.

“Seperti di negara-negara lain sudah menurunkan suku bunga nol persen tapi ekonominya malah tidak bergerak,” ujar David saat dihubungi ROL, Selasa (3/3). 

Menurutnya, jika dilihat kondisi sekarang memungkinkan untuk menurunkan suku bunga, karena terjadi deflasi yang lebih tinggi dari perkiraan. Pada Februari, ekspektasi deflasi tipis namun ternyata sampai minus 0,3 persen sehingga ada ruang menurunkan suku bunga. 

Namun, BI diminta antisipasif dan berhat-hati karena kondisi eksternal masih rentan, terutama kemungkinan The Fed menaikkan suku bunga. Selain itu, kondisi internal sejauh ini dana yang masuk ke dalam negeri masih dominan hot money atau dana jangka pendek di saham maupun obligasi.

Indonesia diminta belajar dari pengalaman Turki yang menurunkan suku bunga secara agresif kemudian menaikkan lagi secara agresif. Awalnya Turki menurunkan suku bunga 125 basis poin sehingga inflasi turun dan kondisi desifit transaksi berjalan membaik.

Namun, tiba-tiba The Fed melakukan tapering yang berakibat mata uang Turki terdepresiasi 4 persen karena tergantung portofolio investment. Akhirnya, Turki harus menaikkan suku bunga 5 persen yang memukul sektor riil. Menurutnya, kondisi Turki hampir mirip Indonesia sekarang dimana inflasi turun dan defisit transaksi berjalan (CAD) membaik. 

“Jadi harus hati-hati, kebijakan moneter arahnya menjaga stabilitas harga. Namanya pengusaha dan politikus kalau bisa bunga serendah-rendahnya, konsekuensinya, pertumbuhan kredit mungkin tinggi, tapi khawatir jangka menengah dan panjang bisa bernasib seperti Turki,” jelas David. 

Oleh sebab itu, pemerintah diminta mengutamakan untuk menjaga stabilitas ekonomi, karena kondisi masih riskan. Indonesia, lanjutnya, masih dalam tahap konsolidasi, bagaimana reformasi strukturtal, birokrasi, infrastruktur dan lainnya. 

“Kalau kita terlalu drastis turunkan, khawatirnya ketika terjadi gejolak hot money keluar beramai-ramai. Jadi harus disesuaikan dengan kondisi ekonomi kita, kalau memungkinkan kenapa tidak, tapi kalau belum memungkinkan jangan dipaksakan,” imbuhnya. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement