REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Industri minyak dan gas serta pertambangan di Indonesia dinilai masih memiliki banyak celah penyelewengan. Beberapa titik di dalam industri ini, dinilai butuh perhatian lebih dari pemerintah agar bisa lebih transparan.
Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Maryati Abdullah mengambil contoh, di sektor mineral dan batubara tingkat kepatuhan perusahaan pemegang izin usaha pertambangan dalam membayar kewajiban penerimaan negara masih diwarnai oleh problem administratif.
"Seperti tidak adanya NPWP, keterlambatan pembayaran, hingga keterlambatan penyampaian bukti setor dalam proses perhitungan dana bagi hasil," jelasnya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (4/2).
Belum lagi, lanjut dia, tanggung jawab sosial dan lingkungan seperti pembayaran penjaminan dana reklamasi dan pasca tambang, serta indikasi kebocoran penerimaan negara yang salah satunya disebabkan oleh pelabuhan-pelabuhan pengapalan bahan tambang dan ekspor yang belum terawasi dengan baik.
"Juga persoalan renegosiasi Kontrak Karya pertambangan mineral dan batubara yang baru berhasil mengamandemen satu kontrak karya," lanjutnya.
Maryati menambahkan, di sektor Migas, tidak sedikit tantangan yang dihadapi dalam memenuhi ekspektasi publik dan daerah penghasil migas seperti informasi lifting yang real, efisiensi, dan efektivitas cost recovery, serta transparansi penjualan minyak mentah bagian negara dan pengadaan minyak mentah untuk kebutuhan BBM.
Sehingga, Maryati mendesak pemerintah untuk segera melakukan banyak pembenahan di sektor Migas dan minerba, khususnya masalah transparansi.