Sabtu 31 Jan 2015 17:20 WIB

Pro Kontra Isu Penghapusan NJOP, PBB, dan BPHTB Nonkomersial

Rep: Rusdy Nurdiansyah/ Red: Ilham
Ferry Mursyidan Baldan
Foto: Republika
Ferry Mursyidan Baldan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) Badan Pertanahan Nasional (BPN) menghapus proses pengurusan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) menuai pro dan kontrak.

''Kementerian TRR/BPN akan mengurai satu per satu hambatan bidang pertanahan dan perumahan. Satu contoh yang sedang dibahas serius yakni rencana penghapusan NJOP, PBB, dan BPHTB,'' kata Menteri ATR/Kepala BPN, Ferry Mursyidan Baldan, di Jakarta, Sabtu (31/1).

Sebagai tahap awal, penghapusan hanya berlaku untuk tempat-tempat non komersial seperti  rumah tinggal, rumah ibadah, dan rumah sakit. "Tapi PBB dan BPHTB tetap dipungut bagi properti komersial, seperti hotel, restoran, warung, dan properti dengan luas di atas 200 meter," jelas Ferry. Menurut Ferry, rancangan ini akan segera diusulkan kepada Kementerian Keuangan.

Saat dimintai tanggapan, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo menyatakan, rencana Kementerian ATR/BPN untuk menghapus PBB tidak akan berdampak besar pada penerimaan negara. Sebab, PBB sudah masuk ke pajak daerah. ''Pengusaha properti juga oke-oke saja dengan rencana ini, ngga masalah,'' kata Mardiasmo

Menurut Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI), Eddy Hussy, rencana Kementerian ATR/BPN tersebut tentu akan berdampak ke pengusaha properti. Pihaknya menyambut baik terobosan tersebut. Khusus untuk NJOP, dia menilai bahwa obyek tersebut memang sudah saatnya diperbaiki dan ditata.

''NJOP memang sudah saatnya ditata dan diperbaiki dengan menyesuaikan kondisi pasar,'' terangnya Eddy seusai melakukan penandatangan nota kesepahaman percepatan sertifikasi lahan dengan Realestat Indonesia (REI) di Jakarta hari ini.

Eddy berharap, penataan yang dilakukan tersebut harus sesuai dengan kondisi pasar. ''Dalam arti sesuai dengan wilayah di suatu daerah, karena daerah-daerah memiliki kewenangan yang diatur dalam undang-undang otonomi daerah,'' tuturnya.

Hal berbeda dikatakan Pengamat pajak, Yustinus Prastowo. Meski setuju NJOP perlu diganti dengan harga patokan yang lebih jelas. Namun, kebijakan ini bisa membebani pembeli properti. Sebab pemerintah daerah bisa saja semena-mena menetapkan pungutan baru dan besaran tarifnya.

Kalau dicermati, manfaat dari penghapusan PBB, NJOP dan BPHTB ini tak begitu tegas kerana tiga jenis pungutan itu sudah menjadi domain Pemda di daerah-daerah yang memiliki undang-undang otonomi daerah. Penerapan harga patokan tanah, misalnya bisa saja pada akhirnya juga setara harga yang ditetapkan dalam NJOP dan itu juga akan terjadi pada pungutan BPHTB.

''Selama ini BPHTB juga dipungut sekali saat ada transaksi saja. Jadi, apa ya, manfaat dari rencana ini penghapusan proses restribusi NJOP, PBB dan BPHTB?,'' tanya Yustinus.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement