Rabu 28 Jan 2015 20:51 WIB

Pemerintah Harus Tinjau Ulang Kontrak Harga Gas

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Ladang gas
Foto: Yudhi Mahatma/Antara
Ladang gas

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Harga gas alam di beberapa negara industri sudah mengalami penurunan. Namun, harga gas untuk industri di Indonesia masih paling mahal dibandingkan negara lain di Asia Tenggara, yakni sekitar 10,2 dolar AS/MMBTU.

Tingginya harga gas ini menyebabkan tambahan biaya produksi bagi industri menjadi meningkat. Untuk industri baja, kenaikan harga gas dapat membuat tambahan biaya membengkak hingga 70 dolar AS. Dengan demikian, industri meminta kepada pemerintah agar dapat menurunkan harga gas menjadi 4 dolar AS/MMBTU.

Anggota Dewan Energi Nasional, Sonny Keraf mengatakan, tidak mudah untuk menurunkan harga gas karena sebelumnya telah terikat dengan sejumlah kontrak. Di dalam kontrak tersebut sudah ditetapkan mengenai harga.

Dengan demikian, upaya maksimal yang dapat dilakukan oleh Dewan Energi Nasional yakni meminta agar pemerintah membuka ruang  untuk melakukan negosiasi ulang, agar harga gas dapat mengikuti dinamika internasional.

 

Sonny menjelaskan, persoalan harga gas ini sebenarnya merupakan urusan antara produsen dan konsumen. Apabila produsen tetap menuntut dengan harga tinggi, maka konsumen akan sulit melakukan produksi.

"Jadi, kepentingan kedua belah pihak ini yang harus dibuka di dalam kontrak gas itu sendiri," kata Sonny di Jakarta, Rabu (28/1).

Selagi harga gas masih tinggi, Sonny meminta kepada para pelaku industri untuk melakukan efisiensi. Selain itu, pelaku industri hendaknya juga dapat melakukan transparansi terhadap pemakaian gas dalam proses produksi. Sehingga pemerintah dan stakeholder terkait dapat menentukan harga gas, listrik, dan Bahan Bakar Minyak (BBM).  

"Kalau pun turun mungkin tidak bisa sampai 4 dolar AS, oleh karena itu kita minta kepada pelaku industri untuk melakukan efisiensi," kata Sonny.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement