Senin 26 Jan 2015 04:11 WIB

Lanjutkan MoU Freeport, Pemerintah Dinilai Masih Tunduk pada Asing

Rep: C85/ Red: Indira Rezkisari
Perpanjangan Kerjasama: Menteri ESDM Sudirman Said (kanan), bersama Chairman Freeport McMoRan, James Robert Moffet (kiri) saat memberikan keterangan pers di Kementerian ESDM, Jakarta, Ahad (25/1).
Foto: republika/JYasin Habibi
Perpanjangan Kerjasama: Menteri ESDM Sudirman Said (kanan), bersama Chairman Freeport McMoRan, James Robert Moffet (kiri) saat memberikan keterangan pers di Kementerian ESDM, Jakarta, Ahad (25/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pemerintah memberikan perpanjangan MoU kepada PT Freeport Indonesia. Perpanjangan ini diberikan lantaran masih ada beberapa poin yang belum mencapai titik kesepakatan antara pemerintah dan Freeport.

Terkait hal ini dan beberapa hak yang telah disepakati, pengamat energi Marwan Batubara menilai bahwa pemerintah masih belum berdaya menghadapi Freeport. "Masih tunduk pada asing," katanya, Ahad (25/1).

Marwan sendiri menjelaskan, bahwa renegosiasi itu pada prinsipnya adalah bagaimana menyesuaikan kontrak dengan perintah UU. "Dan kalau misalnya dalam penerimaan negara itu royalti harus 3,75 persen untuk emas. Itu harus diwujudkan sejak 2003 bukan 2021. Kemudian luas wilayah, kan memang maksimum 25 ribu hektare. Kalau masih tercantum 175 ribu hektare, artinya melanggar UU. Kemudian divestasi saham. Kalau memang kewajiban harus 51 persen," ujar Marwan.

Selain itu, di sisi smelting dalam negeri Marwan juga menganggap pemerintahan saat ini dan sebelumnya belum bisa menaati UU.

"Kewajibannya sejak 2014 itu tidak boleh ekspor mineral mentah. Ternyata Januari 2014 ada PP relaksasi, dan boleh ekspor. Jadi artinya kalau dikatakan pemerintahan Jokowi beda dengan SBY ya buktikan lah dengan aksi di lapangan bahwa yang diperintahkan UU itu benar benar dijalankan. Dalam hal ini kontrak karya isinya harus sesuai dengan peraturan yang ada dalam UU," lanjutnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement