Ahad 25 Jan 2015 14:02 WIB

Raja Baru Saudi Diprediksi Pertahankan Kebijakan Soal Minyak

Rep: C78/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Raja Salman Abdulaziz
Foto: Antara
Raja Salman Abdulaziz

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON — Penguasa baru Arab Saudi Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud kemungkinan akan mengikuti kebijakan pendahulunya mendiang Raja Abdullah dalam hal perminyakan. Ia diprediksi akan mempertahankan tingkat produksi minyak.

Tujuannya menjaga pangsa pasar produsen minyak terbesar dunia itu di tengah anjloknya harga energi.  “Pemimpin Saudi telah mengambil keputusan sulit untuk bertahan di harga minyak yang rendah,” kata Ekonom yang merupakan Kepala Konsultan Arabia Monitor, Florence Eid-Oakden dikutip dari laman BloombergBusinessweek.

Ia mengatakan dengan produksi rata-rata mencapai 9,7 juta barel per hari berikut ekspornya tujuh juta barel, Arab Saudi menyumbang lebih dari 10 persen pasokan minyak global. Atau dengan kata lain seperlima dari minyak mentah yang dijual di pasar internasional.

Ia menilai, tidak dikuranginya produksi minyak guna menghentikan anjloknya harga minyak global disebabkan Arab Saudi tidak ingin pangsa pasarnya diambil alih produsen minyak Shale asal Amerika Serikat. Karenanya pula, Menteri Perminyakan Ali al-Naimi yang selama ini mengendalikan keputusan sektor energi negeri itu sejak 1995 masih dalam posisi yang aman dan dihormati.

“Seharusnya tidak ada perubahan sepanjang kabinet saat ini berjalan,” tuturnya.

 Menyoal posisi Naimi, Direktur Institute's Gulf and Energy Policy Program Simon Henderson sepakat akan posisinya yang masih kuat sebagai menteri. “Meskipun usianya sudah di akhir 70-an dan mengaku ingin pensiun, Naimi masih memiliki kekuasaan besar,” tuturnya.

Diterangkannya, secara teori pengambilan keputusan dalam kebijakan minyak dijalankan oleh Dewan Petroleum Tertinggi yang dipimpin oleh raja. Dewan terdiri dari para anggota keluarga paling senior di Dinasi Saud, para menteri, dan pemimpin industri.

Namun dalam kenyataannya, keputusan tampaknya lebih banyak diambil oleh Naimi selaku menteri perminyakan.

 Seperti diketahui, harga minyak sepanjang 2014 turun 48 persen setelah 12 negara anggota Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) memutuskan mempertahankan tingkat produksi dalam pertemuan di Wina pada 27 November. Di situasi tersebut, produksi minyak Amerika Serikat meningkat mencapai titik tertinggi dalam lebih dari tiga dekade. Saat ini, harga minyak berada di bawah 50 Dolar Amerika per barel.

Pada 6 Januari lalu, Salman dalam kapasitasnya sebagai putra mahkota membacakan pidato mewakili raja, mengonfirmasi kelanjutan kebijakan minyak menghadapi gejolak pasar yang diakibatkan oleh perlambatan pertumbuhan ekonomi global. Gejolak tersebut bukanlah hal baru di pasar minyak. Ia pun optimis akan dapat mengatasi masalah terkini soal minyak dengan menggunakan cara-cara terdahulu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement