REPUBLIKA.CO.ID, MAKKAH -- Harga minyak pada awal perdagangan Asia melonjak setelah berita wafatnya Raja Arab Saudi, Abdullah, Jumat (23/1) pagi. Kabar itu menambah ketidakpastian di pasar energi yang sudah menghadapi sejumlah perubahan terbesar dalam beberapa dekade terakhir.
Setelah Abdullah meninggal dunia, saudaranya Salman menjadi raja. Kerajaan Saudi hingga kini masih menjadi raja pengekspor minyak utama dunia. Patokan Amerika Serikat, minyak mentah berjangka light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) naik lebih dari dua persen ke level 47,76 dolar AS per barel pada awal perdagangan di Asia. Patokan internasional, minyak mentah berjangka Brent dibuka naik hampir 1,5 persen pada 49,10 dolar AS per barel pada pukul 01.00 GMT.
Meninggalnya Raja Saudi datang di tengah beberapa perubahan terbesar di pasar minyak dalam beberapa dekade terakhir. "Ketakutan yang tidak diketahui menjadi pendukung harga minyak mentah," kata John Kilduff, mitra, Again Capital LLC di New York. "Raja Abdullah adalah arsitek dari strategi saat ini untuk mempertahankan produksi yang tinggi dan memaksa keluar pemain yang lebih kecil daripada memangkas produksi," tambahnya.
Harga minyak telah kehilangan lebih dari separuhnya nilainya sejak berada dipuncaknya di atas 100 dolar AS pada Juni 2014. Kehilangan nilai itu karena melonjaknya persediaan berlawanan dengan penurunan permintaan.
Booming produksi shale (serpih) di AS telah mengubah Amerika Serikat dari pengimpor minyak terbesar dunia menjadi produsen terbesar, memproduksi lebih dari sembilan juta barel per hari.
Untuk memerangi lonjakan produksi dan penurunan harga, banyak pengekspor minyak, seperti Venezuela, ingin Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) memotong produksinya dalam upaya untuk mendukung harga dan pendapatan.
Namun, dipimpin Arab Saudi, OPEC mengumumkan pada November lalu bahwa kartel mempertahankan produksinya stabil pada 30 juta barel per hari.
Brent, yang sudah jatuh ke 77 dolar AS per barel pada waktu pertemuan OPEC, jatuh seperempatnya selama bulan berikutnya karena pasar mencerna fakta OPEC tidak akan datang untuk menyelamatkan harga.
Keputusan OPEC untuk tidak bertindak, yang dipimpin oleh Arab Saudi, bertujuan mempertahankan pangsa pasar terhadap produsen minyak serpih (shale oil) AS serta pengekspor non-OPEC lainnya seperti Brasil atau Rusia.