REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah berencana menerbitkan seluruh surat utang berdenominasi valuta asing pada semester pertama. Salah satu alasannya untuk mengantisipasi potensi capital outflow akibat rencana kebijakan bank sentral Amerika Serikat the Federal Reserve (the Fed) yang akan menaikkan tingkat suku bunga pada awal semester 2.
Ekonom dari Universitas Indonesia Kadek Dian Sutrisna menilai pemerintah terlalu paranoid dengan adanya wacana kenaikkan tingkat suku bunga the Fed. Dia meyakini kenaikan tingkat suku bunga the Fed tidak akan terlalu mempengaruhi minat investor terhadap surat berharga negara.
"Pasar obligasi Indonesia tetap akan menarik bagi investor," katanya kepada Republika
Kadek menjelaskan surat utang akan tetap laris manis karena memiliki yield atau imbal hasil yang cukup tinggi. Sehingga, sangat wajar apabila penerbitan surat utang berdenominasi dolar AS (global bond) pada awal Januari ini over subscribed (kelebihan permintaan) sebanyak 4,8 kali lipat.
Pada Jumat (9/1) pemerintah menerbitkan dua varian global bond, yaitu seri RI0125 dan RI0145. RI0125 bertenor 10 tahun dengan bunga pengembalian sebesar 4,2 persen. Sedangkan obligasi RI0145 bertener 30 tahun dengan bunga pengembalian 5,2 persen.
"Indonesia termasuk negara yang memberikan yield paling kompetitif dibanding kebanyakan negara lain," katanya.
Kadek memprediksi keputusan pemerintah menerbitkan seluruh obligasi valas di semester pertama lebih dikarenakan untuk mengantisipasi lonjakan inflasi yang diperkirakan meningkat pada pertengahan tahun. Ini menyusul ada kemungkinan mulai melonjaknya harga minyak dunia di semester kedua.
Sebab salah satu faktor yang dipertimbangkan investor asing untuk menanamkan modalnya adalah tingkat inflasi di suatu negara. Namun, ia menilai tidak ada salahnya apabila pemerintah memprioritaskan penerbitan surat utang valas khususnya global bond.
"Karena memang dolar terus mengalami penguatan terhadap seluruh mata uang," ujarnya.