Kamis 15 Jan 2015 19:14 WIB

BI: Pengelolaan Stabilitas Ekonomi Perlu Dilakukan

Rep: C87/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Gedung Bank Indonesia
Foto: Tahta/Republika
Gedung Bank Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) secara resmi mengumumkan tingkat suku bunga acuan (BI rate) dipertahankan di level 7,75 persen.

Direktur Departemen Komunikasi BI, Tirta Segara, menyatakan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 15 Januari 2014 memutuskan untuk mempertahankan BI rate sebesar 7,75 persen. Dengan suku bunga lending facility dan suku bunga deposit facility masing-masing tetap pada 8,00 persen dan 5,75 persen.

Selama 2014, lanjutnya, kinerja perekonomian Indonesia relatif cukup baik dengan stabilitas makro ekonomi yang terjaga dan proses penyesuaian ke arah yang lebih sehat. Kondisi itu sejalan dengan kuatnya fundamental ekonomi dan berbagai kebijakan stabilisasi ekonomi dan reformasi struktural yang ditempuh Bank Indonesia dan Pemerintah.

BI memperkirakan ke depan perekonomian Indonesia semakin baik, dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan stabilitas makroekonomi yang tetap terjaga. Kebijakan Bank Indonesia diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi, mengelola defisit transaksi berjalan yang sehat, serta menjaga stabilitas sistem keuangan.

Menurutnya, pengelolaan stabilitas makroekonomi nasional di 2014 perlu dilakukan untuk menghadapi tantangan ketidakpastian normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat (AS) serta pemulihan ekonomi global yang tidak sekuat perkiraan sebelumnya dan tidak merata.

Di satu sisi pemulihan ekonomi AS semakin baik, sementara pemulihan Eropa masih melambat. Di sisi lain, ekonomi China juga dalam tren melambat, sementara ekonomi Jepang masih dalam resesi.

Pemulihan ekonomi global yang melambat tersebut, yang disertai dengan penurunan harga minyak dunia seiring dengan melimpahnya pasokan minyak khususnya dari AS, diperkirakan mendorong penurunan harga komoditas dunia secara signifikan. Sementara, meningkatnya ketidakpastian normalisasi kebijakan moneter the Fed, yang disertai dengan penguatan dolar AS terhadap semua mata uang dunia juga semakin meningkatkan risiko pembalikan modal asing dari emerging markets, termasuk Indonesia.

"Namun, sejumlah risiko eksternal masih akan menjadi tantangan bagi stabilitas makroekonomi nasional di 2015, khususnya tingginya volatilitas pasar keuangan global sejalan dengan kemungkinan kenaikan suku bunga Fed Fund Rate di AS dan anjloknya harga komoditas dunia," terangnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement