REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah harus siap mendorong efisiensi dalam kegiatan transportasi sehingga harga solar bukan satu-satunya faktor yang menentukan tarif transportasi. Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto mengatakan pengurangan subsidi pada solar salah satunya dimaskudkan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur sehingga biaya transportasi bisa lebih murah.
Dia mengatakan ketika infrastruktur sudah bagus, maka masyarakat tidak pelu menempuh waktu lama untuk melakukan mobilitas. Hal ini akan mendorong penggunaan solar lebih murah. Dia mencontohkan dengan infrastruktur yang ada saat ini, mobilisaasi barang menuju Surabaya memerlukan waktu 16 jam. Ketika infrastruktur lebih baik, distribusi barang bisa hanya memerlukan waktu 10 jam. Hal ini, kata dia bisa mengurangi ekonomi biaya tinggi.
“Ke depan kita harus siap dengan perubahan kondisi bahwa bahan bakar yang disubsidi itu tidak sehat. Ke depan masyarakat harus dibuat siap dengan tidak ada subsidi dan Pertamina harus di garda terdepan untuk melaksanakan program kedaulatan energy,” kata Dwi, kepada Republika, akhir pekan lalu.
Dia mengatakan penyebab transportasi mahal bukan dari komponen harga solar, namun jarak tempuh yang terlalu lama. Menurut dia, dalam jangka panjang pembangunan infrastruktur melalui realokasi subsidi yang menjadikan distribusi ekonomi menjadi lebih baik. “Kita yang membuat boros bukan biaya bahan bakarnya tapi penggunaan untuk jarak tertentu. Di Jakarta saja untuk jarang yang (semestinya) ditempuh 15 menit harus ditempuh satu jam, itu kan tidak sehat,” katanya.
Dwi mengatakan biaya pengolahan solar lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pengolahan premium. Alhasil, meskipun harga solar sudah disubsidi Rp 1000, selisih antara harga solar dan premium tidak begitu tinggi meskipun pemerintah tak lagi memberikan subsidi terhadap bahan bakar jenis premium. Per 1 Januari 2015, harga solar per liter dijual Rp 7.250, sementara premium Rp 7.600.