REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Komisi VII DPR meminta pemerintah berkonsultasi kepada Mahmakah Konstitusi terkait rencana kebijakan subsidi tetap bagi bahan bakar minyak (BBM) jenis premium dan solar. Sebab, konstitusi tidak mengizinkan minyak dan gas (migas) diatur mekanisme pasar.
Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi Partai Golkar, Satya Wira Yudha, mengatakan MK pernah membatalkan pasal 28 ayat 2 UU No 2 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Hakim konstitusi pada saat itu menyatakan pembatalan pasal tersebut pada intinya melarang penentuan harga BBM berdasarkan mekanisme harga pasar.
"Makanya kita minta pemerintah berkonsultasi dengan MK, apakah fluktuasi harga tidak dianggap mengikuti pasar. Kita tidak boleh mengikuti mekanisme pasar," jelas Satya, Sabtu (20/12).
Satya mengatakan aturan tersebut menegaskan bahwa pemerintah harus menentukan harga migas. Pemberlakukan subsidi mengambang, kata Satya, berarti walaupun ada komponen subsidi namun dua tiga hari berubah berarti masyarakat disuruh beradaptasi dengan harga baru.
Satya mempertanyakan kenapa BBM tidak dijadikan komoditas yang diatur negara, sementara harga bahan pokok seperti beras dan gula diatur negara. Dia mencontohkan pengaturan tersebut misalnya, tiga bulan pertama Rp 8.500, jika ternyata harga minyak turun diatur lagi tiga bulan berikutnya Rp 6.500. Hal itu untuk menghindari fluktuasi harga.
"Pemerintah mendekati harga pasar tidak apa-apa yang penting diatur. Cuma memerlukan kebiasaan masyarakat untuk beradaptasi dengan perubahan-perubahan seperti itu, kalau tidak sedikit-sedikit demo," terangnya.
Di samping itu, dia menilai pemerintah seharusnya lebih jelas mengarahkan paradigma subsidi. Karena dengan memberikan subsidi pada harga tetap berati masyarakat masih menganut subsidi harga bukan subsidi langsung pada masyarakat yang membutuhkan. "Yang ideal adalah pemerintah merubah pola subsidi harga ke subsidi orang supaya tepat sasaran," imbuhnya.