REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Dalam praktik dunia industri, fatwa DSN MUI bersentuhan dengan unsur-unsur hukum nasional atau hukum positif. Agar tercipta kepastian hukum dalam pelaksanaannya, pelu ada sikronisasi fatwa dengan hukum positif.
Anggota Badan Pelaksana Harian DSN MUI, Jaih Mubarok dan Hasanudin menyampaikan, warisan hukum Indonesia adalah hukum Belanda. Secara teori, hukum barat, hukum adat, dan hukum Islam yang bersaing menjadi hukum nasional (hukum positif).
Keduanya menjelaskan fatwa tidak bisa berdiri sendiri. Dalam praktiknya akan berhubungan dengan notaris, pengadilan agama atau Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyaranas) jika terjadi sengketa, dan diregulasi juga oleh negara.
Ada titik arsir yang butuh relaksasi dari sisi fatwa dan hukum positif di sisi lain. Jika tidak, keduanya tidak akan bertemu. Sehingga dalam praktiknya perlu ada sinergisitas hukum.
''Harus ada kajian fatwa bersama dari aspek hukum. Agar dalam praktik termasuk dengan akuntan, pengacara, notaris dan hakim, punya cara pandang yang sama dengan fatwa. Saat ini kesamaan itu belum terbentuk,'' tutur Jaih usai kegiatan Ijtima' Sanawi DSN MUI, Rabu (17/12) malam.
Penyelesaian sengketa bisa melalui jalur litigasi (pengadilan) dan non litigasi. Jalur litigasi saat ini diamanahkan ke peradilan agama. Untuk non litigasi, bisa digunakan pola arbitrase sebagaimana UU ADR dimana para pihak bisa bermusyawarah, berenkonsiliasi, mediasi oleh Badan Mediasi Syariah, dan terakhir arbitrase ke Basyarnas.
Basyarnas adalah tempat terakhir dalam penyelesaian sengketa di jalur non litigasi dimana sifat keputusannya mirip dengan pengadilan. Saat para pihak tidak dengan sukarela menjalankan keputusan Basyarnas, maka yang mengeksekusi adalah pengadilan. DSN ingin sinkron sehingga diperiksa dimanapun semua pandangannya sama.