REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia menilai tantangan perekonomian yang akan dihadapi Indonesia ke depan tidak ringan sehingga perlu mempersiapkan diri menghadapinya.
"Salah satu tantangan yang menanti di depan mata adalah risiko turbulensi di pasar keuangan global, yang dapat dipicu oleh kenaikan suku bunga di Amerika Serikat, the Fed-fund rate," kata Gubernur BI Agus Martowardojo saat acara Bankers Dinner di Jakarta, Kamis (20/11).
Menurut dia, cepat atau lambat, sebagaimana yang diperkirakan oleh banyak pihak, normalisasi kebijakan oleh The Fed tersebut akan terjadi. Agus mengatakan kenaikan suku bunga di Amerika Serikat, sekecil apapun, akan mengubah keseluruhan konstelasi geo-moneter.
"Penilaian ulang terhadap risiko investasi dan valuasi aset finansial di pasar global yang akan mengikuti kenaikan the Fed-fund rate, dapat memicu pergeseran penempatan investasi portofolio lintas negara," ujar Agus. Sebagai akibatnya, katanya, likuiditas dolar AS dapat mengetat terutama di negara-negara dengan fundamental ekonomi yang lemah.
"Bagi Indonesia, normalisasi kebijakan moneter di Amerika Serikat dapat berimplikasi pada berkurangnya aliran modal masuk, yang selama ini telah memberi manfaat bagi pembiayaan fiskal dan defisit neraca transaksi berjalan," kata Agus. Selain itu, Bank Indonesia juga melihat masih mengemukanya kerentanan-kerentanan tambahan di tingkat mikro.
Agus mengatakan yang pertama adalah tingkat utang luar negeri korporasi yang semakin membesar, namun sebagian besarnya belum terlindung dari risiko gejolak kurs. "Adanya akumulasi modal portofolio oleh investor luar negeri pada obligasi negara juga sudah sangat besar, dan ini dapat dengan mudah mengalir ke luar serta memicu gejolak kurs ketika terjadi guncangan dari eksternal. Terlebih, pasar keuangan kita yang dangkal dapat memperbesar gejolak tersebut ketika efek rambatan terjadi," ujar Agus.
Di samping tantangan tersebut, Agus juga mencermati adanya tantangan struktural di sektor riil, berupa kelemahan pada struktur produksi domestik. Selama ini, katanya, ketergantungan Indonesia yang tinggi pada ekspor SDA bernilai tambah rendah telah membuat pertumbuhan ekonomi rentan terhadap fluktuasi harga.
"Selain itu, kemampuan kita untuk mengekspor barang bernilai tambah tinggi, baik dengan memanfaatkan faktor produksi domestik maupun dengan impor barang antara, juga masih sangat lemah," kata Agus.