REPUBLIKA.CO.ID, TIMIKA -- Tokoh masyarakat Amungme, Yosep Yopi Kilangin, meminta jajaran PT Freeport Indonesia tidak perlu berdebat panjang soal layak tidaknya pabrik smelter untuk pemurnian mineral emas dan tembaga dibangun di Papua.
"Tidak perlu berdebat panjang lebar. Kalau mau bangun di Papua, ya mulailah dari sekarang. Tunggu apa lagi," ujar Yopi Kilangin kepada Antara di Timika, Rabu (19/11).
Yopi meminta pihak Freeport tidak perlu terlalu banyak mengajukan syarat-syarat untuk dapat membangun pabrik smelter di Papua. Ia juga meminta pemerintah lebih bijaksana dalam menyikapi situasi dan kondisi Freeport akhir-akhir ini.
"Mungkin sekarang Freeport pikir-pikir mau membangun sebuah investasi yang sangat besar, tapi perpanjangan kontrak karya nanti hanya sekitar tujuh tahun. Untuk apa kalau seperti itu," kata Yopi Kilangin.
Masyarakat adat Suku Amungme dan Kamoro, katanya, tentu akan memberikan dukungan penuh untuk keberlanjutan masa kontrak karya Freeport pasca2021 jika perusahaan investasi asal Amerika Serikat itu serius hendak membangun pabrik smelter di Timika.
Sementara itu Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Rozik B Soetjipto mengatakan sangat sulit untuk membangun pabrik smelter di Papua karena limit waktu yang diberikan Pemerintah Indonesia hanya 2,5 tahun.
Menurut dia, untuk membangun sebuah pabrik smelter di Papua butuh waktu sekitar 4-5 tahun sehingga diperlukan adanya kebijakan dari pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Saat menerima kunjungan kerja Wakil Ketua MPR Oesman Sapta Odang di Tembagapura, akhir pekan lalu, Rozik mengatakan saat ini pemerintah mewajibkan Freeport merampungkan pembangunan pabrik smelter selambat-lambatnya pada awal 2017. Padahal untuk membangun industri itu dibutuhkan area industri.
"Kapan lagi kita bisa membangun area industri di Papua? Kita harus membangun beberapa industri sekaligus karena nantinya infrastrukturnya akan digunakan bersama. Saya sudah sampaikan ke Gubernur Papua bahwa paling bagus di Papua jangan hanya dibangun smelter tembaga, tapi satu kawasan industri. Tapi waktunya jangan terlalu cepat," jelas Rozik.
Beberapa industri pendukung smelter yaitu pabrik semen dan pabrik pupuk. Sementara untuk membangun kawasan industri seperti itu dibutuhkan energi listrik yang sangat besar," jelasnya.
Gubernur Papua Lukas Enembe beberapa waktu lalu mengatakan wilayah Timika ke depan dipersiapkan menjadi kawasan industri.
Dalam renegosiasi kontrak karya PT Freeport Indonesia selanjutnya, Pemprov Papua memperjuangkan agar perusahaan pertambangan asal Amerika Serikat itu harus membangun pabrik smelter di Papua.
Selain pabrik smelter, kawasan industri Timika juga akan dipersiapkan untuk pembangunan pabrik semen, pupuk, ketersediaan tenaga listrik dan lainnya agar harga-harga bahan bangunan dan kebutuhan pokok lainnya di Papua bisa turun.
"Kita mau ada kawasan industri yang terbangun di Papua karena selama ini semua barang produksi didatangkan dari luar Papua terutama dari Makassar dan Surabaya. Akibatnya, anggaran belanja daerah sebagian besar dipakai untuk membiayai itu. Hampir 70 persen dari APBD Papua dananya terserap ke luar," ujar Gubernur Lukas Enembe.
Menurut dia, Pemprov Papua mendukung keputusan PT Freeport yang saat ini memperluas kapasitas pabrik smelter di Gresik, Jawa Timur untuk dapat menampung seluruh hasil produksi tambangnya sebagai konsekuensi dari pemberlakuan UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.
PT Freeport, demikian Gubernur Papua, menyatakan tidak sanggup untuk harus membangun industri smelter di Papua hanya dalam kurun waktu tiga tahun dari 2014 hingga 2017 untuk dapat mengolah mineral tembaga dan emas sebagaimana limit waktu yang ditentukan dalam UU Minerba.
"Namun setelah 2021 pascaberakhirnya masa kontrak karya tahap II PT Freeport Indonesia, maka dia harus membangun industri smelter di Papua," tegas Gubernur Lukas Enembe sembari menambahkan bahwa proses renegosiasi kontrak karya PT Freeport Indonesia yang diperkirakan dimulai pada 2019 harus juga mengakomodasi kepentingan-kepentingan rakyat dan pemerintah di Tanah Papua.