Selasa 18 Nov 2014 13:30 WIB

Kenaikan BBM Ternyata Bisa Genjot Perekonomian

Rep: Elba Damhuri/ Red: Bilal Ramadhan
Pengguna kendaraan bermotor mengantre untuk membeli BBM bersubsidi di salah satu SPBU Surabaya, Jatim, Senin (17/11) malam.  (Antara/M Risyal Hidayat)
Pengguna kendaraan bermotor mengantre untuk membeli BBM bersubsidi di salah satu SPBU Surabaya, Jatim, Senin (17/11) malam. (Antara/M Risyal Hidayat)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kenaikan harga BBM bersubsidi Rp 2.000 per liter akan menghemat anggaran pemerintah lebih dari Rp 100 triliun pada 2015. Ini bisa terjadi dengan asumsi pemakaian volume minyak sekitar 50 juta kilo liter selama 2015 meningkat dari 46 juta kilo liter pada tahun ini.

Dana penghematan ini, kata pengamat ekonomi UI Muslimin Anwar, dapat digunakan Rp 30 triliun untuk bantuan subsidi pangan (beras untuk orang miskin/raskin), program keluarga harapan, dan bantuan siswa miskin. Juga, untuk BLSM dan prmbangunan infrastruktur dasar seperti infrastruktur air bersih, irigasi, program pembangunan infrastruktur pedesaan.

"Pada era presiden SBY ada dana sekitar Rp 30 triliun untuk pembangunan itu semua," kata Muslimin di Jakarta, Selasa (18/11).

Sisanya sekitar Rp 70 triliun dapat digunakan untuk tambahan belanja modal terkait investasi pemerintah. Hal ini misalnya, jelas Muslimin, untuk membiayai rencana pembangunan presiden Jokowi-JK khususnya infrastruktur dan program program terkait MP3EI yang kebanyakan masih sebatas Groundbreaking.

Kenaikan harga BBM bersubsidi ini tentunya akan mendorong perbaikan kinerja neraca migas di tahun depan seiring dengan perlambatan impor migas. Muslimin mengungkapkan kinerja neraca modal dan keuangan pun akan membaik seiring dengan meningkatnya aliran masuk modal asing dipicu oleh persepsi positif terhadap potensi perbaikan fundamental ekonomi nasional.

Hal ini dikarenakan juga oleh meningkatnya persepsi investor asing terhadap kesinambungan fiskal. Menurut Muslimin, aliran deras investasi portfolio dan FDI diharapakn terus meningkat selama Pemerintah mampu menjaga momentum peningkatan persepsi positif investor asing tersebut.

Ini bisa dilakukan dengan melakukan berbagai reformasi struktural sebagaimana janji nawacita ketika pilpres lalu. Meskipun demikian, dalam jangka pendek ada risiko dan konsekuensi yang harus dikelola dan direspons dengan baik, yaitu kenaikan harga harga baik secara langsung maupun tidak langsung (second round effect).

Terkait hal ini Penerintah dan Bank Indonesia harus meningkatkab koordinasinya agar dampak terhadap inflasi dapat berlangsung secara temporer selama 3-4 bulan ke depan saja sebagaimana ketika kenaikan harga BBM juni tahun lalu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement