REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Harga BBM bersubsidi resmi naik Rp 2.000 per liter mulai 18 November. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro memprediksi, kenaikan harga BBM dapat memicu pertambahan inflasi sebesar 2 persen, dari 5,3 persen menjadi 7,3 persen.
Meski demikian, Bambang menjelaskan, angka inflasi tersebut hanya untuk tahun 2014. Dia memprediksi, inflasi masih akan terjadi sampai awal tahun depan. "Tapi jumlahnya tidak akan sebesar seperti dua bulan pertama," ucapnya di Istana Merdeka, Senin (17/11).
Bambang melanjutkan, kebijakan menaikkan harga BBM ini diprediksi dapat menambah ruang fiskal sebesar Rp 100 triliun. Dengan demikian, kata dia, angka defisit APBN 2015 yang sebesar 2,2 persen dapat diturunkan. "Kita harap bisa di bawah 2,2 persen," kata Bambang.
Kebijakan yang diambil pemerintah ini, menurut dia, tidak perlu mendapat persetujuan dari DPR. Sebab, tak ada Undang-Undang yang mengatur pemerintah harus berkonsultasi dengan DPR untuk menaikkan harga BBM.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengatakan keputusan untuk menaikkan harga BBM telah melalui serangkaian pembahasan panjang, mulai dari sidang kabinet, rapat koordinasi teknis di Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, dan rapat terbatas di Istana.
Jokowi melanjutkan, selama ini negara kekurangan dana untuk membangun infrastruktur, memperbaiki kualitas pendidikan, dan menambah layanan kesehatan. Hal itu, ucap dia, karena sebagian besar anggaran dihambur-hamburkan untuk subsidi BBM yang sebagian besarnya dinikmati oleh kalangan menengah ke atas.
Diketahui, selama 2009-2013, anggaran yang dialokasikan untuk subsidi BBM jumlahnya mencapai Rp 715 triliun. Sementara, anggaran untuk kesehatan justru hanya Rp 202 triliun. Adapun anggaran untuk infrastruktur jumlahnya juga masih kalah dibanding subsidi BBM, yakni hanya Rp 577 triliun.