Kamis 13 Nov 2014 14:49 WIB

Maskapai Minta Angkasa Pura Benahi Teknis Pajak Bandara

Angkasa Pura II
Foto: bumn.go.id
Angkasa Pura II

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Sejumlah maskapai meminta pengelola, yakni Angkasa Pura I dan II untuk membenahi persoalan teknis pembayaran serta kesepahaman regulasi lainnya terkait pajak bandara yang akan diberlakukan mulai 1 Januari 2015.

Direktur Utama AirAsia Sunu Widyatmoko, usai pembukaan Rapat Umum Anggota 2014 Asosiasi Perusahaan Penerbangan Sipil Indonesia (Inaca) di Jakarta, Kamis, mengaku masih ada benturan dengan AP I dan II dalam teknis pembayaran.

Sunu menjelaskan pihak AP I dan II meminta penyetoran pajak tersebut secara harian, namun menurut dia secara teknis informasi teknologi dan perbankan tidak bisa selesai dalam waktu satu hari.

"Sekarang transfer antarbank saja prosesnya lama, AP harusnya mengerti. Isunya 'kan karena mereka BUMN jadi mesti 'daily' (harian), padahal kalau 'daily' harus dilihat secara teknis bisa apa enggaknya," ucapnya.

Dia mengatakan kalau pun mereka harus menalangi setoran pajak tersebut, pihaknya tak akan sanggup. "Enggak bisa juga kalau kita harus 'funding', menalangi dulu," ujarnya.

Namun, Sunu mengaku siap dengan pemberlakuan tersebut, asal peraturan dilaksanakan secara konsisten. "Kita AirAsia Malaysia sudah menerapkan, yang penting AP-nya siap juga," tukasnya.

Humas AirAsia Audrey Progastama, dalam kesempatan yang sama, mengatakan pihaknya masih perlu untuk sosialisasi kepada masyarakat.

"Memang kita mendorong secepatnya penerapan 'airport tax' di tiket. Kita butuh waktu sosialisasi ke penumpang. Kalau kita siap tapi tergantung lainnya," tuturnya.

Hal senada disampaikan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emisyah Satar mengaku mendukung karena memudahkan penumpang. "Pada dasarnya, kita ingin demikian karena memudahkan penumpang," katanya.

Namun, dia menyarankan agar semua sistem disinergikan terlebih dahulu karena selama ini kerugian yang derita oleh pihaknya hingga Rp2,6 miliar akibat pemberlakuan tersebut, karena tidak ada sinergitas antara peraturan dari standar global International Air Transport Association (IATA) dan Angkasa Pura I dan II.

"Kita ingin semua disinergikan, kalau tidak seperti yang lalu setelah dua tahun kita menjalani itu, akhirnya dihentikan," tegasnya.

Pasalnya, Garuda Indonesia per 1 Oktober 2014 kembali memisahkan pajak bandara dengan harga tiket, setelah dua tahun menyatukan kedua komponen pembayaran tersebut.

Menurut Emirsyah, jika sistem sudah disinkronisasi, bisa meminimalisasi kerugian yang dibebankan kepada maskapai.

"Enggak akan ada kerugian karena sistemnya sudah sinkron. Sekarang ini banyak sistem yang enggak sinkron, jadi kita harus bayar ke Angkasa Pura II," ungkapnya.

Hal senada juga disampaikan Direktur Umum Lion Air Edward Sirait yang meminta harus ada satu kesepahaman terminologi mengenai pemberlakuan pajak bandara tersebut antara maskapai dan AP I dan II.

Dia menambahkan, kesepahaman terminologi tersebut meliputi peraturan teknis pengenaan pajak bandara, baik di bandara tujuan (origin) maupun bandara transit.

"Apakah sama berlakunya, di bandara origin atau bandara transit. Jangan seharusnya (penumpang) bayar, tapi enggak bayar, sementara saya suruh setor (ke AP II), 'kan masalahnya garuda itu orang dari Amsterdam ke Denpasar, transit di Jakarta, seharusnya di Jakarta bayar tetapi tidak bayar, namun ditagih oleh pengelola. Itu lah yang dia tekor Rp 2 miliar," katanya.

Karena itu, dia menegaskan, harus dibicarakan "business to business" dengan AP I dan II untuk menyamakan pemahaman terkait terminologi tersebut, baru ditandatangani persetujuannya.

Selain itu, dia manambahkan tindak lanjutnya harus disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat agar tidak ada kesalahpahaman terkait pemberlakuan tersebut karena maskapai yang biasanya harus menanggung protes serta keluhan masyarakat.

"Jangan kita dijadikan 'bemper', penumpang harus 'well-known' harus tahu persis. Jangan saya nagih buat orang lain saya yang dimaki-maki," tandasnya.

Dia juga menyarankan agar dijalankan secara transparan dan bersih dalam audit, dan tidak berdasarkan persepsi masing-masing.

Terkait pembelakuan mulai 1 Januari 2015, Edward mengaku pihaknya setuju asalkan permasalahan tersebut harus dibenahi. "Kalau kami tidak ada masalah, tetapi bagi administrasinya harus jelas, seminggu juga bisa," tuturnya.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement