Selasa 21 Oct 2014 16:57 WIB

Rupiah Tembus Rp 15.500, Lima Perusahaan Terancam Bankrut

Rep: Satya Festiani/ Red: Winda Destiana Putri
Rupiah
Rupiah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) melakukan stress test terhadap perbankan, sektor korporasi dan rumah tangga pada Oktober.

Simulasi dilakukan dengan melihat dampak pelemahan nilai tukar dan penurunan harga aset terhadap ketahanan perbankan. Hasil stress test menunjukan apabila nilai tukar rupiah melemah diatas kurs Rp 15.500 per dolar AS, lima perusahaan berpotensi bankrut atau insolvent.

Stress test dilakukan pada 57 korporasi yang memiliki Utang Luar Negeri (ULN) dan posisi Net Foreign Liabilities (NFL). Direktur Departemen Komunikasi BI Peter Jacobs mengatakan, dari hasil tersebut, diperkirakan bahwa terdapat lima korporasi atau 8,77 persen dari total korporasi yang diobservasi berpotensi insolvent atau equity negative apabila nilai tukar Rupiah melemah diatas kurs Rp 15.500 per dolar AS.

Pelemahan nilai tukar juga akan berdampak pada peningkatan kewajiban valas korporasi. "Peningkatan kewajiban valas yang tidak diikuti oleh peningkatan aset valas berpotensi menggerus permodalan korporasi sebagaimana tercermin dalam rasio Posisi Devisa Neto (PDN) korporasi," ujar Peter, Selasa (21/10).

Korporasi yang melakukan penempatan di pasar saham juga dapat mengalami kerugian akibat capital outflow dalam bentuk investasi portofolio seperti penjualan saham-saham domestik, sehingga akan mengakibatkan menurunnya Indeks Harga Saham Gabungan.

Hal ini akan menyebabkan menurunnya nilai kekayaan atau wealth effect korporasi yang memiliki portofolio saham serta kemungkinan mendorong terjadinya fire sale atau tekanan jual yang berlebih dengan harga yang terlampau rendah.

Selain terekspos pada penurunan nilai kekayaan, korporasi juga mengalami kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendanaan dari pasar modal karena lingkungannya menjadi kurang kondusif untuk melaksanakan initial public offering (IPO) dan right issue dengan harga saham yang optimal.

Jalur transmisi lainnya dari arus modal keluar dalam bentuk investasi portofolio adalah melalui penjualan obligasi, baik Surat Berharga Pemerintah (SBN) maupun obligasi korporasi. Kerugian yang ditimbulkan dari fire sale obligasi korporasi, selain penurunan nilai kekayaan bagi investor (bank, dana pensiun, asuransi, korporasi, investor individual), adalah berkurangnya kesempatan bagi korporasi untuk memperoleh pendanaan dengan penerbitan obligasi.

Namun karena kapitalisasi dari obligasi korporasi ini masih relatif kecil, yaitu sebesar 3,39 persen per akhir September 2014 dari keseluruhan kapitalisasi pasar modal, maka dampak dari transaksi obligasi korporasi ini pada stabilitas pasar modal secara keseluruhan dapat dianggap minimal. Dampak yang besar akan lebih dirasakan jika terjadi fire sale pada SBN yang mengambil pangsa 18,03 persen dari total kapitalisasi pasar modal atau 84,18 persen dari total kapitalisasi pasar obligasi.

Rambatan dampak dari fire sale obligasi pemerintah ini juga akan sampai pada industri perbankan, mengingat penurunan harga SBN akan dianggap sebagai kerugian yang harus ditutupi dengan mengurangi permodalannya. Selain itu, karena SBN juga adalah instrumen likuiditas perbankan, maka penurunan harga SBN akan menurunkan likuiditas perbankan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement