Kamis 16 Oct 2014 18:14 WIB

MEA Menjadi Tantangan Terberat Kemenperin Era Jokowi

Rep: Ita Nina Winarsih/ Red: Ichsan Emerald Alamsyah
Penjaga stand menjelaskan kepada pengunjung saat pameran industri kosmetik dan jamu di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Selasa (26/8).(Republika/Yasin Habibi)
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Penjaga stand menjelaskan kepada pengunjung saat pameran industri kosmetik dan jamu di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Selasa (26/8).(Republika/Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kinerja di Kementerian Perindustrian selama lima tahun terakhir terus bertumbuh. Bahkan, kementerian itu mengklaim telah melaksanakan program-program prioritas. Akan tetapi, masih ada pekerjaan rumah (PR) yang belum terselesaikan di kementerian ini.

Menteri Perindustrian Mohamad Sulaeman Hidayat, mengatakan, pekan ini merupakan terakhir masa jabatannya sebagai menteri di Kabinet Indonesia bersatu jilid II. Program yang telah berhasil dijalankan selama kepemimpinannya sesuai dalam kontrak kinerja dengan Presiden SBY.

Hidayat menyebutkan, program yang berhasil itu, di antaranya, revitalisasi industri pupuk. Pemerintah telah memasilitasi jaminan tambahan alokasi gas sebanyak 370 mmscfd, untuk bahan baku beberapa pabrik pupuk jangka menengah. Selain itu, pemerintah juga telah membangun pabrik Pupuk Kaltim-5 dan Pusri II-B.

Kemudian, pemerintah telah merevitalisasi industri gula. Yakni, dengan meningkatkan jumlah produksi gula kristal rafinasi (GKR) dari 722 ribu ton pada 2005 lalu, menjadi 2,74 juta ton pada 2013. Serta meningkatnya efisiensi PG BUMN dari 62,73 persen pada 2010 menjadi 79,66 persen pada 2013.

Selanjutnya, Kemenperin berhasil merestrukturisasi industri TPT dan alas kaki. Sepanjang 2010-2013, bantuan untuk industri ini mencapai Rp 569,05 miliar. Bantuan itu, diberikan kepada 609 perusahaan. Sehingga, menghasilkan penambahan investasi sebesar Rp 6,44 triliun.

Tak hanya nilai investasi, tenaga kerja juga mengalami penambahan sebanyak 224 ribu orang. Sedangkan kapasitas industrinya meningkat antar 17-25 persen.

Kemudian, pengembangan indudustri hilir kelapa sawit. Salah satunya, dengan meningkatnya utilisasi industri minyak goreng (//refinery//) dalam negeri dari 45 persen (2010) menjadi 70 persen di awal 2014 kemarin. Saat ini, investasi industri hilir kelapa sawit nilainya mencapai Rp 20 triliun.

"Kawasan industri juga berkembang. Seperti di Palu dan Sei Mangkei. Serta terbangunnya pusat inovasi kelapa sawit," jelas Hidayat.

Tetapi, selain keberhasilan juga ada PR yang masih tertunda. Seperti, penyelesaian RPP sebagaimana telah diamanatkan dalam UU 3/2014 tentang Perindustrian. Kemudian, soal hilirisasi industri berbasi agro, migas, dan bahan tambang mineral.

Selanjutnya, peningkatan daya saing industri berbasis SDM, pasar domestik dan ekspor serta pengembangan IKM. Program reformasi birokrasi juga harus ditingkatkan. Sebagai upaya tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik yang baik.

"Yang paling berat, yaitu menghadapi MEA 2015 mendatang," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement