REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON -- Pemerintah telah menargetkan pencapaian swasembada garam pada 2015 mendatang.
Namun, banyaknya permasalahan di sekitar garam, membuat petani garam pesimis target tersebut bisa tercapai.
Ketua Ikatan Petani Garam Indonesia, Moch Insyaf Supriadi menjelaskan, pencapaian swasembada garam berarti bahwa kebutuhan garam konsumsi maupun industri, bisa dipenuhi dalam negeri dan sesuai standar. Pemenuhan itu baik berupa kuantitas maupun kualitasnya.
"Tapi saya pesimis swasembada garam bisa tercapai pada 2015 karena adanya sejumlah masalah yang hingga kini dialami para petani garam," ujar Insyaf, Selasa (14/10).
Insyaf mengungkapkan, masalah itu di antaranya berupa kondisi cuaca yang saat ini tidak menentu. Biasanya, para petani garam mulai memproduksi garam pada awal Juni. Namun ternyata, pada Juli sampai Agustus, hujan masih sering turun.
Menurut Insyaf, turunnya hujan jelas membuat pembentukan garam tidak bisa terjadi. Akibatnya, petani garam harus mengalami kemunduran musim produksi selama dua bulan hingga cuaca benar-benar memasuki kemarau. Kondisi tersebut akhirnya berdampak pada pencapaian produksi garam.
Selain cuaca, lanjut Insyaf, masalah lain yang menghambat pencapaian swasembada garam adalah tidak optimalnya penggarapan garam. Di Kabupaten Cirebon, hal tersebut salah satunya disebabkan banyaknya lahan tambak garam yang terkena abrasi.
Semula, areal tambak garam di Kabupaten Cirebon mencapai 30 ribu hektare. Namun dari jumlah itu, saat ini hanya sekitar 16 ribu hektare yang masih bisa berproduksi secara maksimal.
"Pengurangan lahan itu terjadi akibat gerusan abrasi dan terjangan rob secara bertahap sejak 1985 sampai sekarang," terang Insyaf.
Buruknya kondisi saluran air untuk bahan baku air dari laut ke areal tambak, disebut Insyaf juga menjadi masalah lain yang dihadapi petani garam. Kondisi tersebut, membuat kualitas air baku yang seharusnya jernih, menjadi keruh.
"Kalau kualitas bahan bakunya jelek, otomatis akan berpengaruh terhadap kualitas garam yang dihasilkan," tutur Insyaf.
Selain bahan baku air, kualitas garam juga ditentukan periode kristalisasi garam. Idealnya, garam dipanen sekitar empat hari sekali agar diperoleh garam berkualitas baik. Namun, karena terdesak kebutuhan ekonomi, garam dipanen setiap hari.
"Disini seharusnya ada peran koperasi yang memberi pinjaman pada petani garam. Tapi kenyataannya sebagian besar koperasi petani garam tidak aktif," papar Insyaf.
Insyaf menambahkan, program bantuan yang diberikan pemerintah untuk mengatasi permasalahan seputar garam, juga tidak tepat sasaran. Seperti misalnya, bantuan pelatihan yang seharusnya bertujuan meningkatkan kualitas garam, kenyataan di lapangannya hanya pelatihan untuk produksi garam.
Selain itu, bantuan yang diharapkan petani bisa turun saat awal produksi, ternyata baru terealisasi ketika produksi sudah berjalan. Akibatnya, bantuan tak bisa dimanfaatkan secara optimal.
"Indonesia sebenarnya bisa mencapai swasembada garam. Tapi, permasalahan di seputar garam harus diperbaiki, terutama secara teknik," tegas Insyaf.
Sementara itu, ketika disinggung mengenai produksi garam, Insyaf mengakui hingga kini masih belum memenuhi target. Pada tahun ini, target produksi garam di Kabupaten Cirebon sekitar 350 ribu ton. Namun, hingga akhir pekan pertama Oktober, target produksi baru terealisasi kurang lebih 100 ribu ton.
Seorang petani garam di Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon, Suhandi, menjelaskan, belum bisa memanen garam secara maksimal di areal tambaknya. Hal itu terjadi karena mundurnya masa pengolahan garam akibat panjangnya musim hujan pada tahun ini.