REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembeli dari Uni Eropa memberlakukan syarat yang harus dipenuhi eksportir kayu dan produk kayu untuk memasarkan produknya ke kawasan negara-negara tersebut.
"Tren ekspor kayu semakin naik, para pembeli di Uni Eropa juga mulai selektif terhadap produk kayu yang diimpor," kata Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan Nus Nuzulia Ishak, Senin (13/10).
Nus mengatakan syarat-syarat yang diberlakukan, antara lain mengatur tentang legalitas semua jenis kayu dan produk kayu, contohnya "EU Timber Regulation" yang ditujukan mengontrol keabsahan asal kayu yang dikirim ke Uni Eropa.
Eksportir kayu juga harus mempunyai bukti dan dokumen bahwa kayu yang dikirim berasal dari negara yang dapat diverifikasi. Hal tersebut diperlukan untuk melacak asal-usul kayu yang dijual.
"Jika tidak bisa menunjukkan dokumen, maka eksportir tidak dapat menjual ke pasar Uni Eropa," kata dia.
Dia mengatakan kayu untuk keperluan konstruksi harus memiliki tanda "CE" yang mengatur standar daya tahan kayu, stabilitas, dan keamanan.
Meski demikian, eksportir kayu dari negara berkembang mengekspor produk kayu mentah atau setengah jadi sehingga tidak memerlukan tanda "CE".
Bagi eksportir yang memasok kayu spesies langka harus memenuhi persyaratan Konvensi Internasional untuk spesies langka (CITES), baru akan memperoleh izin untuk menebang dan mengekspor kayu langka tersebut.
Selain itu, katanya, tidak semua kayu boleh ditambahkan bahan pengawet. Hanya beberapa jenis kayu yang diperbolehkan, misalnya untuk instalasi industri atau bantalan rel kereta api.
Syarat umumnya, yakni manajemen keberlangsungan hutan hayati yang diatur dalam Forest Stewardship Council (FSC) berkaitan dengan kerusakan hutan akibat penggundulan hutan yang mengakibatkan pemanasan global.
"Meski syaratnya diperketat, pembeli juga memberikan perhatian kepada usaha kecil menengah untuk memasarkan produknya di Uni Eropa. Jadi UKM lain juga bisa ikut berkompetisi," katanya.