Rabu 01 Oct 2014 18:17 WIB

Pembatasan Investasi Perbenihan Hortikultura Matikan Petani

Pedagang menata komoditas sayuran dan holtikultura di Pasar Induk Kramat Jati Jakarta, Jumat (22/8). (Republika/Tahta Aidilla).
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Pedagang menata komoditas sayuran dan holtikultura di Pasar Induk Kramat Jati Jakarta, Jumat (22/8). (Republika/Tahta Aidilla).

REPUBLIKA.CO.ID,MALANG--Ketua Gabungan Kelompok Tani Sayuran Malang, Jawa Timur, Lucky Budiarti mengatakan rencana membatasi investasi sektor perbenihan hortikultura khususnya sayuran akan mematikan petani yang justru kini tengah bersemangat menggarap sektor ini.

"Saya melihat pengadaan benih hibrida dengan varietas tertentu masih terbatas, serta belum ada penangkaran lokal," kata Lucky di Jakarta, Rabu. Padahal, kata dia, kebutuhan petani terhadap benih hibrida sangat besar dan memberikan kontribusi positif terhadap keberhasilan panen.

Turunnya produksi hortikultura khususnya sayuran di pasar dalam negeri pada akhirnya lebih banyak dipengaruhi masih terbatasnya benih bermutu. Dia mengkhawatirkan, pembatasan investasi asing di sektor perbenihan hanya akan membuat terputusnya jejaring usaha pemasaran penyedia benih unggul dan bermutu.

Harus juga dipahami produsen benih sayuran selama ini sangat perhatian terhadap petani. Mereka melakukan konsultasi lokasi penanaman yang cocok, cara budidaya, varietas-varietas baru bahkan saling bertukar pengalaman, papar Lucky.

Lucky mengingatkan, penyediaan bibit dengan varietas tertentu yang bermutu dan mempunyai trend internasional sekarang ini masih harus impor, karena penyediaan benih dalam negeri terbatas.

"Saya kira yang terpenting bagi petani adalah petani mudah dan memiliki banyak pilihan untuk mendapatkan bibit unggul berkualitas," ujar dia.

Hal senada disampaikan oleh Ketua Dewan Hortikultura Nasional (DHN) Benny Kusbini. Menurutnya, pembatasan investasi di sektor hulu hortikultura yakni industri benih sangat merugikan petani.

"Lebih baik kita mengundang investor untuk menghidupkan sektor hulu daripada harus impor produk akhir yang nilainya jauh lebih besar," katanya.

Benny menegaskan bahwa produktivitas benih lokal terbilang masih rendah. Dia mencontohkan komoditas kentang. Tingkat produktivitas kentang lokal hanya mencapai 12 ton/hektare.

Sementara itu, Cina sudah mencapai 40 ton/hektare dan Australia sekitar 60-80 ton/ha.

Rendahnya produktivitas ini banyak disebkan oleh kualitas benih yang buruk. Hal tersebut mengakibatkan tanaman mudah terserang penyakit hingga pada akhirnya tidak mampu bersaing dengan kentang dari negara lain.

Harga kentang di tingkat petani juga menjadi lebih mahal. Saat ini per kilogram kentang produksi petani nasional sekitar Rp 8.500, sementara produk dari Cina bisa dijual di Indonesia seharga Rp 5.500. "Jika tidak hati-hati membuat kebijakan, petani kentang dan sayuran Indonesia yang akan menjadi korban," katanya.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement