Rabu 01 Oct 2014 14:37 WIB

Hotel Syariah di Bali Stabil Meski ada Perang Tarif

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Ichsan Emerald Alamsyah
Hotel syariah (ilustrasi)
Foto: Republika/Aditnya Pradana Putra
Hotel syariah (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Kondisi hotel syariah di Pulau Bali relatif masih stabil meski saat ini tengah terjadi perang tarif antar hotel disana.Perang tarif terjadi karena menjamurnya jumlah hotel, vila, dan home stay. Akibatnya, hotel-hotel tersebut harus saling berkompetisi untuk bertahan dan sampai membanting harga sewa kamar hotel.

Hal tersebut dinyatakan Ketua Asosiasi Hotel dan Restoran Syariah Indonesia (AHSIN) Riyanto Sofyan. “Memang hotel syariah di Bali seperti Bayt Kaboki mendapat pengaruh akibat persaingan ini. Tetapi justru itu, kita punya keunggulan komparatif,” katanya kepada ROL, di Jakarta, Rabu (1/10).

Dibandingkan hotel konvensional, kata dia, hotel syariah menyediakan makanan halal, hiburan yang tidak melanggar nilai universal, hingga tidak memperbolehkan tamu non-muhrim menginap. Disatu sisi, kata dia, ternyata ada masyarakat atau tamu hotel termasuk non-Muslim yang membutuhkan suasana hotel yang nyaman, kondusif, dan makanan halal. Jadi, kondisi hotel syariah relatif stabil meski sedikit banyak kondisi hotel di Bali sedang tidak bagus karena telah memiliki pasar sendiri.

“Contohnya Hotel Bayt Kaboki yang tidak sampai menurunkan harga. Hotel syariah di Bali memiliki pangsa pasar sendiri yang bisa diperluas,” katanya. Riyanto menyebutkan bahwa saat ini ada sekitar 100 hotel syariah di Indonesia. Jumlah hotel syariah, kata dia, trennya terus bertambah sekitar tiga hingga 10 hotel dalam tiga tahun terakhir.

Sebelumnya, Presiden Junior Chamber International (JCI) Indonesia, Ida Bagus Agung Gunarthawa mengatakan, hotel-hotel di Pulau Dewata tengah perang tarif. Penyebabnya adalah menjamurnya hotel-hotel baru, home stay, dan vila.

Kehadiran mereka membuat jumlah tempat penginapan di Bali itu tidak lagi proporsional, sudah melebihi tingkat permintaan (over supply). Wisatawan domestik pun lebih paham ke mana mereka harus mencari tempat tinggal di Bali, meskipun belum terdaftar.

Penyebab lain terjadinya perang tarif, kata dia, adalah kurangnya wisatawan mancanegara yang berlibur ke Bali. Dia menceritakan, kapasitas daya tampung Bali terhadap turis dibanding Singapura, Malaysia, Thailand, dan negara tetangga lainnya lebih besar.

Sayangnya, kata dia, jumlah kunjungan turis mancanegara ke Bali dibanding ke negara tetangga tak berbanding lurus dengan kapasitas daya tampung. “Mau tidak mau ya, banting harga, tidak ada pilihan lain,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement