Jumat 26 Sep 2014 16:54 WIB

Sektor Manufaktur Diharapkan Membaik Tahun Depan

Rep: Meiliani Fauziah/ Red: Ichsan Emerald Alamsyah
Mesin-mesin industri dipajang dalam pameran manufaktur di Jakarta
Foto: Antara
Mesin-mesin industri dipajang dalam pameran manufaktur di Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sektor manufaktur dinilai bakal menghadapi banyak tantangan tahun depan. Untuk tahun ini, Indeks manajer pembelian sektor manufaktur sampai dengan Agustus 2014 menunjukan kondisi usaha yang cenderung turun.

"Padahal dari sisi supply, sektor manufaktur masih jadi kontributor utama ekonomi di Indonesia," ujar ekonom Asian Development Bank (ADB) Indonesia, Priasto Aji, Jumat (26/9).

Ia menjelaskan, pertumbuhan sektor manufaktur tahun depan akan sedikit melambat ke level 5,1 persen karena  terjadi pengurangan dan jumlah permintaan baru. Untuk itu tahun depan diharapkan perbaikan dalam permintaan domestik dan internal.

Sementara itu, sektor jasa  diperkirakan tumbuh hingga 6,3 persen dan sektor konstruksi tumbuh sekitar 6,6 persen. Tahun depan ADB memperkirakan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,8 persen. Hal ini antara lain dipengaruhi ekspor, investasi dan ekspektasi kebijakan oleh pemeirntahan baru.

Sektor pertambangan menjadi salah satu tumpuan harapan membaiknya nilai ekspor. Hal ini diawali dengan kembali dibukanya ekspor bijih besi mineral yang telah diproses sebagian pada semester kedua tahun 2014.

Namun di sisi lain, Indonesia masih perlu waspada terhadap pemulihan pasar ekspor dan potensi arus modal keluar karena kenaikan suku bunga di Amerika. Apalagi Indonesia masih bergantung pada arus masuk portofolio untuk mendanai defisit transaksi berjalan.

ADB juga menyoroti pentingnya pemanfaatan rantai nilai global (global value chain/ GVC). Kerjasama antara pemerintah dan pihak swasta diperlukan guna menurunkan hambatan perdagangan tarif maupun nontarif, serta meningkatkan infrastruktur logistik dan transportasi.

Sejauh ini mayoritas  perdagangan GVC di Asia dan Pasifik dihasilkan oleh perekonomian di Asia Timur dan Asia Tenggara, termasuk Jepang dan Tiongkok. Ceruk GVC belum banyak dimanfaatkan oleh negara di Asia Tengah, Asia Selatan atau Pasifik. Investasi GVC di negara-negara tersebut terhambat terpencilnya lokasi, infrastruktur transportasi yang kurang terbangun, dan lemahnya kebijakan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement