REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Said Didu mengatakan, penyelesaian masalah maskapai penerbangan Merpati Nusantara dilakukan setengah hati.
Ini yang membuat maskapai tersebut tidak kunjung mendapatkan kepastian akan nasibnya.
"Pemerintah tidak satu pendapat apakah Merpati mau disehatkan atau dimatikan saja," kata Said kepada Republika, Selasa (13/4).
Menurutnya, ketegasan pemerintah diperlukan untuk menentukan nasib Merpati. Jika terus menerus diundur, utang Merpati akan semakin membengkak. Pilihan yang ada pun akan sama-sama merugikan, baik pemerintah mau pun perusahaan itu sendiri.
Said mengatakan, utang Merpati ketika bermasalah pada 2008 hanya Rp 2 triliun. Karena penyehatannya terus diundur, kini utangnya membengkak menjadi lebih dari Rp 7 triliun.
Pemerintah pun akan merogoh kocek lebih dalam untuk menyelesaikan persoalan ini. Hal ini mengakibatkan nasib Merpati seperti memakan buah simalakama. Disehatkan negara rugi, dimatikan negara tetap rugi.
Uang yang dikeluarkan untuk menutup Merpati memang lebih besar dibandingkan jika pemerintah menyuntikkan modal untuk menyehatkan Merpati. Namun, melihat semakin tingginya utang Merpati, dana yang keluar pun sama besarnya. "Ditutup pun beban negara membengkak," kata Said.