REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perusahaan maskapai penerbangan pelat merah PT Merpati Nusantara Airlines dinilai sudah tidak layak lagi dipertahankan. Opsi penutupan perusahaan itu pun dianggap sebagai satu-satunya pilihan yang paling mungkin dilakukan pemerintah saat ini.
“Penyelamatan Merpati itu sudah tidak masuk akal. Mau dijual pun tidak akan laku, karena belum apa-apa saja pembelinya sudah harus keluar uang dulu Rp 7 triliun,” ujar pengamat penerbangan Alvin Lie saat dihubungi, Selasa (12/8).
Tambahan lagi, kata dia, maskapai tersebut saat ini juga sudah tidak mempunyai aset lagi. Karena itu, ia menyarankan kepada pemerintah supaya menutup saja Merpati agar tidak memunculkan masalah lagi di masa datang.
Di samping itu ia juga mendesak pemerintah untuk melunasi gaji karyawan PT Merpati yang sudah tertunggak selama berbulan-bulan. “Merpati itu kan milik negara. Jadi, Kementerian BUMN selaku wakil pemilik saham Merpati memiliki kewajiban untuk membayarkan gaji karyawan perusahaan tersebut,” imbuhnya.
Ia menambahkan, pascapenutupan Merpati, pemerintah juga mesti memberikan kejelasan terhadap status para karyawan maskapai itu ke depannya.
“Mereka itu kan butuh kepastian juga. Karena ini menyangkut urusan bagaimana melanjutkan hidup orang banyak. Apakah para karyawan itu nantinya akan dipindahkan ke BUMN lainnya atau bagaimana, ini juga mesti dipikirkan pemerintah,” tuturnya.
Sebelumnya, Ketua umum Serikat Karyawan Merpati, Purwanto mengatakan, PT Merpati Nusantara Airlines hingga saat ini belum lagi membayarkan gaji 1.400 pegawainya selama delapan bulan terakhir. Oleh karena itu, saat ini karyawan perusahaan maskapai milik pemerintah tersebut pada hari ini melakukan aksi di depan Kementerian BUMN untuk menagih hak mereka.
“Ada 1.400 orang (yang belum dibayarkan),” kata Purwanto kepada wartawan.