Selasa 12 Aug 2014 15:48 WIB

Pengetatan Fiskal Dilanjutkan

Rep: Meiliani Fauziah / Red: Julkifli Marbun
Chatib Basri
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Chatib Basri

REPUBLIKA.CO.ID, Jakarta -- Pemerintah belum akan melonggarkan gerakan fiskal dalam waktu dekat. Kondisi ekonomi saat ini yang menunjukan gejala membaik ditakutkan hanya euforia.

"Kadang-kadang kita suka euforia luar biasa. Jangan lupa AS ada kemungkinan menaikkan tingkat suku bunga," ujar Menteri Keuangan (Menkeu) Chatib Basri, Selasa (12/8).

Chatib menggambarkan, ketika AS mengumumkan kondisi dimana kondisi perekonomiannya membaik, rupiah terkena imbasnya. Rupiah mengalami depresiasi antara lain di  Brasil, Afrika Selatan, India dan Turki.

Jika AS benar menaikkan tingkat suku bunga, maka normalisasi kebijakan moneter akan terjadi. Kemudian, apabila AS menaikkan tingkat suku bunga dengan lebih cepat, maka outflow di emerging market akan terpengaruh. Untuk itu kebijakan makro harus dibuat ekstra hati-hati.

"Sekarang tanpa normalisasi kebijakan moneter saja kita berhadapan dengan situasi makro yang uncertain," kata Chatib.

Perekonomian Indonesia saat ini diibaratkan sedang dalam kondisi menguntungkan. Hal ini didorong harga komoditi yang tinggi, adanya quantitative easing dan pertumbuhan global yang relatif baik.

Namun pemerintah tidak boleh terlena dengan kondisi ini. Dalam konteks perekonomian global misalnya, kondisi geopolitik Ukraina akan mempengaruhi harga komoditi tambang di Indonesia.

"Kita berhadapan dengan situasi dimana komoditi price rendah padahal revenue pajak sebagian besar berkonsentrasi pada tambang dan perekebunan," lanjut Chatib.

Menkeu menilai tantangan perekonomian Indonesia bakal makin berat. Salah satu antisipasi fiskal yang paling atraktif menurut dia adalah pengurangan subsidi BBM. Dengan pengurangan ini, maka defisit untuk ekspansi fiskal tidak perlu ditambah.

"Perekonomian mengalami kontraksi karena ruang fiskalnya dipakai untuk subsidi BBM. Di sisi lain moneter terpaksa diketatkan karena untuk mencegah outflow," kata dia.

Dengan mengurangi subsidi BBM, anggaran yang ada diharapkan bisa untuk membangun infrastruktur. Ia mencontohkan, apabila terjadi kenaikan harga sebesar Rp 1000 dengan volume BBM 48 juta kiloliter, maka yang bisa dihemat sekitar Rp 48 triliun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement