REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Pengamat ekonomi Sumatera Utara, Wahyu Ario Pratomo mengingatkan Pemerintah harus berhati-hati atau mewaspadai terjadinya penurunan nilai ekspor daerah itu sejak 2012 dan diperkirakan berlanjut hingga tahun ini.
"Penurunan penerimaan devisa dari ekspor, bukan saja menekan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga membuat pengusaha enggan berinvestasi di usaha ekspor dan memilih menjadi pedagang semata," katanya di Medan, Rabu (6/8).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut, kata Wahyu yang dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara (USU) itu menunjukkan, nilai ekspor Sumut pada 2012 tinggal 10,393 miliar dolar AS dari 2011 yang masih sebanyak 11,883 miliar dolar AS.
Nilai ekspor itu turun lagi di 2013 atau menjadi 9,597 miliar dolar AS dan hingga semester I 2014 ada penurunan lagi sebesar 1,62 persen dari periode sama tahun 2013 atau 4,719 miliar dolar AS.
"Harus dicarikan solusi untuk menekan turunnya terus ekspor, walau diakui sulit karena secara global, perekonomian sedang lesu,"katanya.
Menurut dia, untuk menekan dampak negatif dari penurunan devisa, maka pemerintah dinilai perlu terus mendorong tumbuhnya perusahaan produk jadi. Dengan adanya produk jadi, bukan saja menambah nilai jual/ekspor, tetapi juga menekan ketergantungan ekspor dengan mengandalkan mengisi kebutuhan di dalam negeri.
Sekretaris Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo Sumut, Laksamana Adiyaksa, mengakui, akibat turunnya harga dan permintaan ekspor, pengusaha semakin hati-hati berinvestasi.
Investasi semakin diperketat karena biaya produksi juga semakin membengkak mulai dari naiknya harga gas, listrik, bahan bakar minyak, upah pekerja dan termausk juga biaya berbagai perizinan.
"Diakui, banyak yang sudah mikir dan bahkan mengubah bisnisnya menjadi usaha dagang dengan perhitungan lebih menguntungkan,"katanya.