REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) dan PT Garuda Indonesia Tbk melakukan perjanjian keja sama transaksi lindung nilai (hedging) sebesar Rp 500 miliar. Lindung nilai dilakukan untuk mitigasi risiko fluktuasi nilai tukar.
Garuda memperoleh kredit dalam mata uang rupiah. Sementara, pendapatan dan kebutuhannya dalam mata uang dolar AS. "Hal ini menimbulkan potensi missmatch arus kas," kata Direktur Keuangan Handrito Hardjono di Jakarta, Rabu (25/6).
Lindung nilai ini merupakan yang pertama kali dilakukan oleh emiten penerbangan tersebut. Sebelumnya, perseroan telah melakukan fuel hedging, yaitu lindung nilai untuk bahan bakar. Nilai yang ditransaksikan melalui hedging masih sangat kecil dibandingkan kebutuhan valuta asing (valas) Garuda. Setiap tahun, kebutuhan valas Garuda sekira Rp 30 triliun sampai Rp 35 triliun, termasuk anak usaha seperti Citilink dan GMF.
Karena baru pertama kalinya, hedging tidak ditransaksikan dalam jumlah besar. "Hedging bisa benar bisa salah. Tapi kami ingin kepastian (harga dolar AS)," kata Handrito.
Sebelumnya, perseroan telah melakukan fuel hedging atau lindung nilai untuk kebutuhan bahan bakar. Setiap tahun, hedging dilakukan sebanyak 20 persen dari kebutuhan bahan bakar setiap tahun. Sisanya, Garuda mengikuti harga di pasar.
Dana yang dilindung nilai ini dipakai untuk kebutuhan operasional. Seperti diketahui, sebagian biaya operasional Garuda adalah berupa valas. Diharapkan, hedging dapat mengurangi missmatch yang kerap terjadi setiap tahun. "Selain hedge, kompensasi nilai tukar juga dapat dikompensasi melalui harga tiket," kata Handrito.
Direktur Treasury dan IF BNI Suwoko Singoastro mengatakan, perseroan sebelumnya sudah melakukan kerja sama lindung nilai dengan perusahaan swasta. Namun untuk perusahaan badan usaha milik negara (BUMN), kerja sama baru dilakukan dengan Garuda.