REPUBLIKA.CO.ID,BANDUNG -- Panic buying yang menimbulkan gejolak kenaikan harga dinilai sebagai lagu lama setiap menjelang Bulan Suci Ramadhan. Dampak perilaku belanja borongan terhadap komoditas pangan ini harusnya diantisipasi pemerintah, bukan cuma disalahkan.
"Panic buying karena mendekati Ramadhan, ini lagu lama dan tidak bisa dipersalahkan. Tapi pemerintah harusnya bisa mengantisipasi (supaya tidak terjadi gejolak harga). Persoalan suplai dan demand tidak bisa dipersalahkan begitu juga dengan pola belanja masyarakat,” kata Ketua Komisi B DPRD Jawa Barat, Selly Gantina, Selasa (10/6).
Dia mengakui, panic buying terbukti setelah ikut memantau ke sejumlah titik niaga di Jabar. Kenaikan komoditas, terjadi pada cabai merah, bawang merah, bawang putih, wortel, dan tomat. Harga telur ayam, daging ayam pun terkerek naik dan terus merangkak akhir-akhir ini.
"Ada panic buying khususnya pada beberapa komoditas pangan. Ini sudah kami kroscek ke sejumlah sektor pangan," kata Selly.
Dia memandang, gejolak kenaikan harga selalu disikapi terlambat. "Operasi pasar yang dilakukan pemerintah menunggu harga naik terlebih dahulu," katanya.
Di sisi lain, Selly menemukan banyak pedagang berubah jadi spekulan dengan menunda menjual barang. “Lebih baik disimpan dan dijual menjelang Ramadhan agar harganya naik,” katanya.
DPRD Jabar juga mempertanyakan kinerja Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) yang tidak bisa mengantisipasi gejolak kenaikan harga pangan. TPID seharusnya bisa mengetahuinya dalam 2-3 bulan ke depan untuk selanjutnya mengambil langkah.
Komisi B sendiri meminta Pemprov Jabar segera memaksimalkan anggaran operasi pasar (OP) yang tahun ini mencapai Rp 10 miliar. “Sayangnya selama ini yang dimanfaatkan daerah hanya Rp 1-2 miliar. Ini karena mekanisme pengajuan anggaran OP agak berbelit-belit,” katanya.