REPUBLIKA.CO.ID, Hubungan dagang antara Pakistan dan Indonesia memiliki potensi besar untuk dilirik. Berdasarkan data Bank Dunia dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), ada dua hal penting yang mengindikasikan itu. Hal tersebut terkait jumlah populasi warga di Pakistan yang dapat dianggap relatif besar untuk pangsa pasar, yakni 179 juta. Selain itu, ketergantungan bangsa tersebut pada impor yang masih cukup besar.
Hingga 2011, Indonesia masih berada di peringkat 10 untuk negara mitra dagang terbesar Pakistan. Padahal, sudah 67 tahun Indonesia melakukan hubungan diplomatik dengan bangsa itu. “Kita masih kalah dengan Malaysia yang baru 57 tahun, tapi sudah di peringkat lima,” ujar Ketua Tetap Perdagangan Internasional Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Fachry Thaib.
Ia menilai peluang peningkatan perdagangan, terutama ekspor beberapa produk Indonesia ke Pakistan, masih sangat terbuka. Untuk ekspor kendaraan bermotor dinyatakannya relatif baik dengan melihat masih rendahnya kepemilikan mobil di Pakistan, yaitu baru satu persen dari total populasi penduduk. Menurut data Organisasi Internasional untuk Kendaraan Bermotor (OICA) dan Asosiasi Produsen Otomotif Pakistan, ada kenaikan impor sejak 2009.
Pada 2009 Pakistan mengimpor sebanyak 49.869 unit kendaraan dan kemungkinan pada 2015 akan menjadi 57 ribu unit. Sayangnya, ekspor kendaraan bermotor Indonesia ke Pakistan masih rendah hanya 16,5 juta dolar AS pada 2011. Sedangkan, nilai ekspor kendaraan Thailand ke negara ini telah mencapai 50 juta dolar AS.
Potensi ekspor lainnya, dalam bidang telepon dan komponennya. Nilai impor Pakistan untuk produk tersebut pada 2012 mencapai 1,4 miliar dolar AS. Padahal, pada 2009 nilainya baru mencapai 596,9 juta dolar AS.
Bisnis pupuk juga dapat menjadi sasaran. Fachry pun menilai pangsa pasar pupuk Indonesia di Pakistan masih relatif kecil, yaitu 25,6 juta dolar AS pada 2011. Hal itu tidak sebanding dengan kebutuhan impor Pakistan yang meningkat tajam dari 648,4 juta dolar AS pada 2010 menjadi lebih dari satu miliar dolar AS pada 2011.
Indonesia pun dapat menyuplai material konstruksi ke negara itu. Hal ini mengingat sebesar 12 persen dari total industri di Pakistan disumbangkan dari sektor konstruksi.
Atas segala potensi tersebut, jumlah pengusaha Indonesia yang tertarik untuk menjajal negara itu sangat sedikit. Hal ini disebabkan ramainya isu terorisme yang terjadi di Pakistan. Oleh karena itu, pemerintah perlu rajin menyosialisikan kesempatan ini kepada para investor melalui berbagai pameran internasional dan misi dagang ke luar negeri.
Ia pun mengusulkan kerja sama Preferential Trade Agreement (PTA) sebaiknya dimanfaatkan untuk mendorong hubungan dagang kedua negara. Sejak penandatanganan PTA pada 2012, terjadi peningkatan perdagangan di kedua belah pihak. “Untuk ekspor sebelum PTA sebesar 415,9 juta dolar AS dan menjadi 1,4 miliar dolar AS setelah penandatanganan, sedangkan untuk impor, dari 50,6 juta dolar AS menjadi 273,2 juta dolar AS,” katanya memaparkan.
Direktur Kerja Sama Pengembangan Ekspor Kementerian Perdagangan Gatot Prasetyo Adji mengatakan, nilai perdagangan Indonesia-Pakistan turun pada 2013 hingga 4,28 persen. Hal ini disebabkan turunnya impor Indonesia dari Pakistan sebesar 38,24 per sen. “Meski begitu, ekspor Indonesia ke Pakistan mengalami kenaikan 2,44 persen sehingga ada surplus sebesar 1,25 miliar dolar AS,” ujarnya.
Ekspor Indonesia tertinggi ke negara itu, yakni dalam minyak kelapa sawit (CPO). Indonesia berhasil merebut pasar CPO Malaysia sehingga kini pangsa pasar CPO nasional di Pakistan mencapai 44,01 persen.
Gatot sangat mendorong adanya peningkatan peluang ekspor itu. Menurutnya, Pakistan merupakan pintu masuk perdagangan Indonesia ke kawasan Asia Selatan. Pakistan juga dimanfaatkan sebagai pintu masuk untuk memasok CPO ke Eropa Timur. Untuk itu, kerja sama harus digiatkan dalam bentuk perjanjian perdagangan bilateral, investasi bergaransi, dan proses pembayaran melalui bank. n c69 ed: fitria andayani