REPUBLIKA.CO.ID, RABAT -- Lembaga riset Thomson Reuters merilis data terbaru mengenai perkembangan industri keuangan syariah di Maroko. Hasilnya meski permintaan akan produk keuangan syariah tinggi, namun Maroko belum bisa memanfaatkannya.
Hal ini karena sampai saat ini Maroko belum memiliki aturan yang mengendalikan asuransi dan perbankan syariah. Thomson Reuters menggandeng beberapa lembaga lain seperti Islamic Research and Training Institute (IRTI) dan General Council for Islamic Banks and Financial Institutions (CIBAFI).
Berdasarkan survey konsumen dan ritel di Maroko, Thomson Reuters pekan ini memperkirakan aset perbankan syariah diyakini bisa mencapai 8,6 miliar dolar di 2018. Dengan laba mencapai 67 juta dolar AS dan 112 juta dolar untuk lembaga keuangan syariah lainnya.
Di tahun itu pula diperkirakan pangsa pasar perbankan syariah, dari segi aset bisa sampai di angka lima persen jika dibandingkan dengan konvensional. Pertumbuhan pangsa pasar syariah didorong kebutuhan sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) atas pendanaan.
Sedangkan perbankan syariah diyakini bisa memenuhi pendanaan tersebut. Sayangnya, kebutuhan yang tinggi tak dibarengi pengetahuan masyarakat akan produk keuangan syariah.
Kabar baiknya, Parlemen Maroko sedang mempersiapkan aturan perbankan dan asuransi sesuai kaidah Islam. Setelah sebelumnya, parlemen mengeluarkan aturan terkait sukuk di 2013 lalu.
Kepala Pasar Keuangan Syariah Thomson Reuters, Sayd Farook, menyatakan survey The Morocco Retail Consumer menunjukkan permintaan akan produk syariah sampai di angka 98 persen.
Namun, potensi sebanyak 30 juta penduduk muslim ini belum bisa dimanfaatkan karena Maroko tak memiliki lembaga keuangan syariah.
''Ini memberikan peluang besar bagi investor dan lembaga keuangan konvensional,'' tutur dia.