Rabu 21 May 2014 11:19 WIB

Pengamat: Kenaikan Royalti Batu Bara Harus Seimbang

Sejumlah warga berada menyaksikan pencarian korban tambang batu bara di Ngalau Cigak, Desa Batu Tanjung, Kecamatan Talawi, Kota Sawahlunto, Sumbar, Ahad (26/1).
Foto: ANTARA FOTO/ Muhammad Arif Pribadi/ed/pd/14
Sejumlah warga berada menyaksikan pencarian korban tambang batu bara di Ngalau Cigak, Desa Batu Tanjung, Kecamatan Talawi, Kota Sawahlunto, Sumbar, Ahad (26/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum pertambangan dari Universitas Hasanuddin Makassar, Prof.Abrar Saleng berpendapat, rencana pemerintah menaikan royalti IUP batu bara, harusomemenuhi beberapa unsur.

“Setidaknya ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam royalti, yakni harga, kadar dan volume,” kata dia saat dihubungi wartawan, Rabu (21/5).

Jika tiga unsur tersebut sudah terpenuhi, menurutnya harga naik, kadar bagus dan volume tetap, maka kenaikan royalti bukan masalah dan sesuatu yang wajar. Ia berkata, akan menjadi bumerang, ketika royalti dinaikan, namun dari sisi harga, misalkan, masih rendah.

“Jangan  royalti dinaikan, tetapi usaha batu bara justru tidak berjalan,” ucap dia.

Rencana itu bergulir menyusul keputusan penundaan yang disampaikan pemerintah melalui Dirjen Minerba awal April 2014 lalu. Meski ditunda, namun pelaku suaah batu bara masih belum mendapatkan kepastian, sebab menunda tidak berarti dibatalkan.

Karena itu, dibutuhkan keseimbangan dan kebijaksanaan dari pemerintah. Kalau memang royalti dinaikan, itu dilakukan saat harga batu bara sedang bagus.  Namun yang terjadi selama ini, berbeda. Saat harga batu bara bagus, royalti justru tidak dinaikan, namun harga sedang anjlok, muncul keinginan untuk menaikan royalti.

Selain keseimbangan dari tiga unsur tersebut, hal lain yang cukup penting terkait kebijakan kenaikan royalti atau kebijakan lainnya adalah soal transparansi. Pemerintah harus mengungkapkan dengan jelas, apa yang melatari kenaikan tersebut.  Dengan mengutarakan alasan yang jelas, pengusaha pun diyakini bisa memahami, sehinga kebijakan yang dikeluarkan tidak merugikan pelaku usaha.

Sebab jika pelaku usaha tidak bisa menjalakan aktivitas usahanya, maka akan menjadi beban pemerintah juga. Sebab tugas pemerintah adalah melindungi setiap aktivitas usaha yang dilakukan. sehingga muaranya, pemerintah juga yang bertanggungjawab jika terjadi dampak yang meluas, misalkan penangguran dan sebagainya.

Abrar juga mengharapkan agar pelaku usaha juga harus jujur. Ketika memang usaha yang dijalankan untung, jangan sampai mengtakan rugi. Sebab selama ini, imbuhnya, pelaku usaha cenderung diam, jika usaha yang dilakukan memberi keuntungan. Namun jika rugi, mulai berkoar-koar.

“Semua harus jujur dan transparan, sehingga bisa mencapai titik kesimbangan tersebut,” sarannya.

Sementara itu, Ketua Sumber daya Alam, Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Singgih Widagdo mengatakan , royalti sebenarnya merupakan ringkasan dari tiga aspek, social cost, enviromental cost dan economic cost.

Ketika pemerintah menunda rencana kenaikan royalti, hal tersebut hanya terkait satu aspek saja, yakni economic cost, karena harga batu bara yang sedang jatuh. Sementara dua aspek lainnya belum direken. Padahal, kegatan pertambangan, tidak bisa dilepaskan dari semua aspoek tersebut, lingkungna juga sosialnya.

Singgih bahkan menyarankan pemerintah agar lebih fokus pada kontrol kegiatan pertambangan di daerah. Sejak awal kegiatan sampai pada kegiatan pasca tambang juga termasuk kegiatan sosial perusahaan.

Karena menurutnya, masih banyak perusahaan yang masih belum melaksanakan kegiatan pertambangan dengan baik dan benar. Masih banyak perusahaan yang mengakali stripping ratio, banyak juga yang mengabaikan kegiatan pascatambang.

“Kalau tidak dilakukan pengawasan, maka harapan untuk melakukan konservasi sumber daya alam, tidak akan terwujud,” ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement