REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- "Masih ingat dengan kasus Taman Bungkul dan Taman Pelangi (Surabaya) yang tiba-tiba menarik perhatian masyarakat dunia sehingga membuat Indonesia menjadi muncul dalam peta wisata pertamanan dunia?" ucap Kresnayana Yahya, MSc.
Itulah ungkapan pengamat ekonomi yang juga analisis data dan dosen statistik di ITS Surabaya saat melontarkan pertanyaan ketika memulai presentasi dalam lokakarya strategi bisnis yang digelar LPPM dan Pascasarjana Universitas Katolik Widya Mandala (WM) Surabaya, 21 Maret lalu.
"Saat ini dimana-mana saya melihat pengusaha asing berlomba-lomba untuk masuk ke Indonesia. Tadi saja di bandara ketemu dengan orang Malaysia yang ingin membuka usaha sate goreng di Indonesia. Dibuat dan diproses di Malaysia, dijual di Indonesia. Apakah ini tidak mulai mengerikan?," ujarnya.
Menurut Kresnayana, Indonesia tidak akan berguna bila masyarakatnya tidak mempunyai kesadaran, "who we are and where we are". Orang Indonesia punya pembawaan 'nrimo' (puas dengan kondisi yang ada saat ini) yang justru akan bisa membuatnya tidak akan mampu bertahan.
"Bisnis di Indonesia didominasi dengan bisnis tradisional dan bisnis gelap. Kita juga punya kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan baik, contohnya ya Taman Bungkul dan Taman Pelangi itu. Profesional itu tidak harus menunggu pihak asing," tuturnya.
Saat ini, perekonomian Indonesia sangat bergantung pada ekspor bahan mentah, 60 persen pendapatan riil Indonesia dinikmati oleh luar negeri. Data statistik menunjukkan bahwa uang senilai triliunan rupiah beredar di masyarakat, namun tidak juga muncul dalam bentuk pemberdayaan masyarakat.
"Keluhan yang sering muncul adalah kurangnya kemampuan untuk memulai dan menjalankan suatu bisnis, padahal untuk mengelola sebuah bisnis itu tidaklah terlalu sulit, bisa dijalankan dengan simple check," tukasnya.
Ia menyebut metode "simple check" ini bisa dilakukan dengan memastikan tiga hal bisa berjalan dengan baik dalam bisnis seseorang, yakni sistem dan prosedur kelengkapan (product), penjualan dan pemasaran (market), serta aliran keuangan (money).
"Salah satu tugas kita adalah menciptakan kesempatan. Kita harus mendidik masyarakat untuk menjadi kreatif. Kesempatan suatu produk baru untuk bertahan dan sukses di pasar hanyalah sebesar 5 persen," timpalnya.
Oleh sebab itu, orang tidak boleh menyerah karena hanya sekali gagal, tapi orang yang menuntut ilmu semakin tinggi seharusnya bisa semakin memperhitungkan risiko dengan lebih baik.
"Bukannya malah menjadi takut untuk mencoba, tapi justru harus semakin berani dan pada gilirannya bisa mendidik masyarakat untuk semakin berdaya," ulas pria yang juga pernah memberikan pelatihan kepada orang-orang sekaliber ekonom Sri Mulyani itu.