REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengembangan wilayah kerja panas bumi (geothermal) di beberapa daerah hingga saat ini masih terhambat sejumlah masalah. Salah satunya adalah mengenai besaran harga jual energi panas bumi.
Direktur Panas Bumi Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Tisnaldi menuturkan pemerintah mengandeng Bank Dunia (World Bank) dan Bank Pembangunan Asia (Asia Develompent Bank/ADB) untuk melakukan kajian harga jual yang sesuai dengan keekonomian. "Kita juga melibatkan PLN, Kementerian Keuangan, pengembang, dan asosiasi. Diharapkan dalam dua hari ke depan sudah ada laporan final dari Bank Dunia dan ADB," ujarnya, Kamis (20/3).
Saat ini harga jual paling tinggi atau ceiling price yang ditetapkan pemerintah 9,7 sen dolar AS per kWh. Sementara menurut Asosiasi Panas Bumi (API), harga jual yang ekonomis adalah kisaran 11-13 sen dolar AS per kWh untuk pembangkit berkapasitas di atas 55 megawatt (MW). Sedangkan untuk pembangkit berkapasistas di bawah 55 MW, harga jual yang ekonomis di kisaran 16-17 sen dolar AS per kWh.
Hasil kajian tersebut, lanjut Tisnaldi, akan menjadi acuan pemerintah dalam membuat peraturan harga jual energi panas bumi. "Kita inginkan harga yang ditetapkan bersifat atraktif, sehingga lelang berikutnya ada peserta yang capable dan serius mengembangankan panas bumi," tuturnya.
Pada tahun ini, kata Tisnaldi, pemerintah akan melakukan lelang lima wilayah kerja panas bumi. "Minimal lima yang dilelang, tapi harapannya kemungkinan lebih dari lima," ujarnya.