Rabu 19 Mar 2014 20:05 WIB

Tingkat Eksploitasi Ikan Tuna di Laut Indonesia Mengkhawatirkan

Ikan tuna, salah satu andalan ekspor hasil laut Indonesia.
Foto: http://www.ekobiz-parepare.com
Ikan tuna, salah satu andalan ekspor hasil laut Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo mengatakan tingkat eksploitasi sejumlah jenis ikan tuna di kawasan perairan Indonesia dalam tahap mengkhawatirkan sehingga dibutuhkan kerja sama berbagai pihak guna mengatasinya.

"Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia, status tingkat eksploitasi tuna jenis albakor, madidihang, mata besar dan tuna sirip biru selatan sudah sangat mengkhawatirkan dengan status tereksploitasi penuh hingga tereksploitasi berlebih," kata Sharif Cicip Sutardjo di Jakarta, Rabu (19/3).

Menurut dia, hanya tuna jenis cakalang yang masih dalam status tereksploitasi sedang atau moderat. Ia mengemukakan, tren penurunan stok tuna itu mengancam keberlangsungan mata pencaharian nelayan dan juga bisnis tuna.

Untuk itu, lanjutnya, diperlukan kerja sama semua pihak baik tingkat lokal, nasional maupun internasional dalam upaya penyelamatan sumber daya dan bisnis tuna ini. Sebelumnya, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyayangkan pihak asing masih leluasa dalam menjarah sumber daya alam perikanan di kawasan perairan Indonesia.

"Asing kian leluasa menjarah dan mengelola sumber daya alam di Indonesia dengan fasilitasi kebijakan negara," kata Sekretaris Jenderal Kiara Abdul Halim, Kamis (13/3).

Menurut Abdul Halim, hal itu antara lain karena nelayan dan perempuan nelayan seakan-akan masih diposisikan sebagai warga negara kedua dalam pengelolaan perikanan. Ia juga menyayangkan bahwa sumber daya perikanan tidak diposisikan sebagai pangan strategis bangsa. Hal tersebut, lanjutnya, mengakibatkan belum terhubungnya sistem logistik ikan nasional yang berimbas pada ketidakadilan perdagangan ikan domestik, utamanya bagi pelaku perikanan skala kecil.

Abdul Halim juga menyorot minimnya transportasi antarpulau hingga tumpang tindih kebijakan sektoral yang berkaitan dengan upaya perlindungan nelayan. "Tanpa adanya peta jalan kelautan 2014-2019, sejumlah persoalan ini berisiko kembali terulang," ujarnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement