Senin 10 Mar 2014 15:04 WIB

Pembiayaan Bermasalah BPRS Tujuh Persen, Amankah?

Rep: Ichsan Emrald Alamsyah/ Red: Nidia Zuraya
Layanan di BPRS, ilustrasi
Layanan di BPRS, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan, pembiayaan bermasalah atau non Performing Finance (NPF) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) meningkat dari 6,15 persen menjadi 7,48 persen. Padahal menurut Bank Indonesia angka maksimal NPF perbankan adalah sebesar lima persen.

Ketua Bidang Pengembangan BPRS Asbisindo, Syahril T Alam, mengatakan beberapa waktu lalu rasio pembiayaan bermasalah yang berada di angka tujuh persen masih terbilang aman. Namun bukan berarti pelaku bisnis BPRS bisa bernapas lega. Mereka patut mewaspadai dan harus menurunkan pembiayaan bermasalah tersebut.

Angka tujuh persen menurut dia sudah menjadi semacam peringatan agar pelaku BPRS segera menurunkan angka NPF hingga bisa dibawah lima persen. Ia pun yakin setiap pebisnis BPRS memiliki rencana untuk mengurangi rasio pembiayaan bermasalah. Tiap tahun, ujar dia dalam rencana kerja mereka tentu sudah termasuk menurunkan angka NPF tersebut.

Untuk menurunkan NPF sebenarnya ada beberapa hal yang bisa dilakukan BPRS. Hal tersebut bisa berupa penagihan, kemudian restructuring sehingga bisa mengubah waktu pengembalian nasabah, hingga pengambil alihan jaminan. Hanya saja, ia mengakui angka NPF di BPRS memang cukup tinggi.

Senada dengan Syahril, Direktur Utama BPRS Irsyadi, Mahrus Junaedi juga meyakini angka tujuh persen bagi  bank perkreditan rakyat masih tergolong normal. Namun dengan catatan, perlu ada sokongan yang besar bagi BPRS yang menyentuh angka tujuh persen tersebut. Karena dengan angka pembiayaan bermasalah tujuh persen dan modal yang tipis, BPRS akan mudah goyah. Selain itu tentu dengan rencana tambahan, BPRS itu patut mengembalikan ke angka dibawah lima persen.

Pendapat berbeda diungkapkan Sekretaris Perusahaan BPRS Harta Insan Karimah, Abdul Muid Badrun. Ia menyatakan pelaku perbankan, termasuk BPRS tetap harus berpatokan kepada batas normal Bank Indonesia. Sehingga angka 7,48 persen sudah masuk dalam kategori tidak sehat.

Abdul mencontohkan, jika pembiayaan sebuah BPRS mencapai Rp 1 miliar maka angka bermasalah sampai di Rp 35 juta (asumsi NPF 7 persen). ''Coba bayangkan jika pembiayaannya mencapai Rp 50 miliar atau RP 100 miliar,'' tutur dia kepada ROL, Senin (10/3).

Abdul mengungkapkan NPF sebesar 7,48 persen juga memiliki efek berantai. Menurutnya, persepsi masyarakat mengenai BPRS akan buruk. Oleh karena itu setiap BPRS patut mewaspadai angka NPF ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement