REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Potensi E-commerce tanah air baru tergali satu persen. Meski tidak ada data, pengamat menyakini satu persen itu mencerminkan cerahnya masa depan e-commerce tanah air.
Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia, Daniel Tumiwa mengungkap bagi dunia e-commerce satu persen itu merupakan angka yang bagus. Artinya begini, ada orang yang berbelanja di salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Jakarta, dan pusat grosir.
"Kedua konsumen itu kan punya karakter yang berbeda," ucap dia di Jakarta, Selasa (11/2).
Apa yang berbeda, lanjut dia, pada opsi pertama, konsumen akan selalu melihat-lihat untuk waktu yang lama, baru terjadi transaksi. Berbeda dengan opsi kedua, akan lebih banyak transaksi. "Nah, opsi pertama itulah, karakter pembeli online," kata dia.
Menurut Daniel, itu menandakan konsumen memiliki banyak pertimbangan seperti misal keamanan transaksi, bagus atau tidak barang yang diinginkan lalu seberapa unik atau ekslusif barang tersebut. "Jadi, harus browsing dulu, baru memutuskan transaksi," kata dia.
Sejumlah pengamat industri mencatat potensi e-commerce di Indonesia mencapai 10-12 miliar atau sekitar 120 triliun rupiah. Ini diperkirakan karena meningkatnya penggunaan smartphone serta pertumbuhan pengguna internet di Indonesia. Data terakhir menyebut, jumlah penduduk Indonesia yang terkoneksi internet mencapai 55 juta orang.
Bhineka, pelaku lawan industri e-commerce menyatakan sejauh ini perkembangan e-commerce cukup besar. Memang, masih ada mindset dari konsumen yang masih memilih membeli barang atau apapun secara offline bukan online. "Perkembangannya memang besar, tapi dari sisi prosentase kecil, hanya satu persen," kata Direktur Utama Bhinneka.com, Hendrik Tio.
Tio mengatakan sejak tahun 1999 ketika memulai bisnis online, jumlah konsumen yang mengakses laman Bhinneka sangat besar, tapi tidak dibarengi dengan nilai transaksinya. Diakuinya itu terjadi karena masyarakat saat itu baru melihat e-commerce hanya sebatas referensi harga belum pada penjualan barang.
Tapi, kata dia, melihat dari perkembangan terbaru, posisinya sudah 70 persen transaksi dilakukan secara online, sisanya offline. "Saya kira tinggal konsumen saja. mengapa begitu, karena pada dasarnya infrastruktur sudah siap, pembayaran secara online sudah bisa. Sudah mudah," ucapnya.
Soal itu, Hendri menyatakan sosialisasi e-commerce sudah berjalan. Efeknya sudah terasa. Persoalannya tinggal bagaimana pelaku industri bisa mengoptimalkan konsumen ini. "Masa kapok membeli barang via online sudah lewat. Kini perkembangannya sudah lebih jauh dari itu, misalnya saja, engine chat sudah menyediakan layanan pembayaran secara online," ucapnya.
Lalu, kata dia, layanan pun tidak lagi melulu pada komputer rumah atau jinjing, tetapi juga smartphone. Artinya, layanan e-commerce juga perlu disesuaikan. Misalnya saja, cara melayani smartphone berlaya 4 inch atau 5 inch jelas berbida. "Kebutuhan, keinginan, dengan menempati posisi, karakter dan demografi jelas berbeda. Ini tantangan kita ke depan," kata dia.