REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fahmy Radhi, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, menilai bisnis LPG 12 kg yang dilakukan Pertamina tidak termasuk dalam kategori monopoli. Sebab, siapapun badan usaha yang ingin masuk ke dalam bisnis LPG 12 kg dapat masuk.
"Namun dalam prakteknya Pertamina adalah pemain satu-satunnya. Kini yang perlu dicermati adalah alasan Pertamina yang menyatakan bahwa bisnis LPG 12 kg itu merugi," kata Fahmy kepada wartawan akhir pekan lalu.
Pertamina terancam denda Rp 1-25 miliar setelah Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) membuktikan bisnis LPG 12 kg yang selama ini mereka geluti termasuk dalam kategori monopoli.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Hukum KPPU, Ahmad Junaidi mengatakan, pihaknya memanggil Pertamina untuk meminta klarifikasi mengenai kebijakan menaikkan harga LPG 12 kg. Pasalnya, berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 002/PUU-I/2003 pada 15 Desember 2004, terdapat campur tangan pemerintah dalam kebijakan penentuan harga untuk cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak seperti BBM dan gas bumi.
Atas dasar tersebut, KPPU menilai tindakan Pertamina menaikkan harga elpiji 12 kg merupakan tindakan yang tidak memiliki dasar kewenangan.
Fahmy menilai, pernyataan Pertamina yang merugi di bisnis LPG 12 kg terbilang aneh. Dosen UGM ini mensinyalir Pertamina yang ‘berkoar-koar’ bisnis LPG 12 kg itu rugi lantaran BUMN tersebut tak ingin ada badan usaha lain yang bisa terjun ke bisnis LPG 12 kg sebagai bagian dari entry barrier.