REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Harga minyak mentah AS berbalik naik pada Kamis (Jumat pagi WIB), setelah persediaan distilat (hasil penyulingan) AS pekan lalu turun tajam karena cuaca musim dingin yang parah mencengkeram sebagian besar wilayah negara itu.
Kontrak berjangka utama AS, minyak mentah light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Maret, mengembalikan kerugiannhya menjadi berakhir pada 97,32 dolar AS per barel, naik 59 sen dari Rabu (22/1).
Patokan Eropa, minyak mentah Brent North Sea untuk penyerahan Maret, merosot 69 sen menjadi menetap di 107,58 dolar AS per barel.
Kedua kontrak minyak mentah, WTI dan Brent, pada hari sebelumnya diperdagangkan di wilayah negatif di tengah aksi ambil untung setelah reli selama dua hari, kata analis Forex.com Fawad Razaqzada.
Namun laporan mingguan Departemen Energi (DoE) tentang persediaan minyak AS, yang ditunda sehari karena hari libur di AS pada Senin (20/1), mendorong selera pembeli terhadap WTI.
"Penarikan distilat dalam laporan persediaan ini sangat mendukung pasar," kata John Kilduff dari Again Capital.
Pasok bahan bakar distilasi, yang mencakup minyak pemanas dan diesel, turun 3,2 juta barel dalam pekan yang berakhir 17 Januari, menurut laporan tersebut.
Penurunan tajam ini mengejutkan para analis, yang rata-rata memperkirakan penurunan sebesar 800.000 barel.
Penurunan tajam terjadi karena permintaan bahan bakar pemanas meningkat dalam menghadapi musim dingin yang parah, kata Kilduff.
Kilduff mengatakan penurunan aktivitas kilang, dengan penyulingan berjalan pada 86,5 persen dari kapasitas, turun dari 90,0 persen, juga turut berperan.
Persediaan minyak mentah AS naik untuk pertama kalinya dalam delapan minggu, DoE melaporkan, namun peningkatan dari satu juta barel sejalan dengan harapan.
Data suram Cina telah membebani pasar minyak sebelumnya, terutama pada jenis Brent.
Manufaktur Cina mengalami kontraksi untuk pertama kalinya dalam enam bulan pada Januari, sebuah survei menunjukkan Kamis, meningkatkan kekhawatiran tentang prospek pertumbuhan 2014 bagi perekonomian terbesar kedua di dunia itu.
"Brent mundur kembali ... karena data PMI lemah dari Cina, jatuh untuk pertama kalinya dalam enam bulan menjadi 49,6, menyebabkan kekhawatiran atas permintaan negara itu," kata analis Lucy.