REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) mempertahankan BI Rate pada level 7,5 persen. Pengamat menilai keputusan tersebut diambil karena ekspektasi inflasi sudah menurun serta pertumbuhan ekonomi dan penyaluran kredit sudah melambat. BI diprediksikan akan kembali menaikan suku bunga acuannya pada 2014.
Ekonom dari PT Bank Mandiri, Tbk, Destry Damayanti, mengatakan BI Rate ditahan karena ekspektasi inflasi sudah menurun. Pertumbuhan kredit, terutama pada kredit konsumsi, juga sudah melambat. Untuk menangangi defisit transaksi berjalan, menurutnya, tidak bisa hanya dilakukan melalui kebijakan moneter, tetapi juga harus diimbangi dengan kebijakan di sektor riil.
"Jadi saat ini yang ditunggu pasar adalah kebijakan konkrit di sektor riil, sementara untuk moneter saat ini fokus untuk stabilisasi nilai tukar," ujar Destry, Kamis (12/12).
BI sejak Juni 2013 telah menaikan BI Rate sebesar 175 basis poin (bps) menjadi 7,5 persen. BI menyatakan kenaikan tersebut bertujuan untuk mengarahkan inflasi pada target sebesar 4,5 +- 1 persen dan mempersempit defisit transaksi berjalan menjadi di bawah 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Destry mengatakan BI kemungkinan menaikan kembali BI Rate pada Februari atau Maret 2014 untuk mengantisipasi tapering off yang dilakukan Bank Sentral Amerika Serikat (AS), the Federal Reserve (the Fed). Kenaikan juga akan dilakukan untuk merespons data dari neraca perdagangan. "Mestinya Januari jangan dulu naik," ujar dia.
Tapering off diprediksikan akan dilakukan AS pada kuartal I-2013. Selain itu, Indonesia juga menghadapi tantangan eksternal lain, yakni kenaikan obligasi atau T-bill.
"2014 ada 2 tantangan eksternal, yakni tapering off mungkin kuartal I dan kenaikan obligasi (T-bill), mungkin kuartal III atau IV," ujar Ekonom dari Unika Atmajaya, Agustinus Prasetyantoko. Kedua hal tersebut akan membuat BI menaikan BI Rate sebesar 50 bps tahun depan.
Ia mengatakan pasar saat ini sebenarnya menginginkan kenaikan Bi Rate, tetapi BI disarankan tidak terlalu mengikuti keinginan pasar. Indonesia sebaiknya tidak hanya menggunakan suku bunga untuk menarik aliran dana, tetapi harus dengan perbaikan struktural.
Kenaikan suku bunga juga dianggap tidak efektif untuk menguatkan rupiah. Ekonom PT Bank Internasional Indonesia, Tbk (BII), Juniman, mengatakan kenaikan suku bunga malah akan membuat kontraproduktif. Ia menilai saat ini nilai tukar telah stabil walaupun melemah. "Kenaikan BI Rate bulan lalu direspons negatif oleh pasar. Stock market masih tenggelam. Semua masih negatif," ungkap Juniman.
Menurutnya, BI Rate yang ditahan akan berimplikasi positif terhadap ekonomi secara keseluruhan. Sektor perbankan dapat bernafas untuk menyesuaikan suku bunga.
"Perbankan bisa mantain untuk berapa besaran suku bunga kredit," ujar Juniman. Kenaikan bunga kredit yang terlalu besar dapat membuat rasio kredit bermasalah (NPL) meningkat.
Daya beli masyarakat juga bisa distabilkan kembali. Pasalnya, kenaikan BI Rate yang terus menerus akan mempengaruhi daya beli masyarakat. "BI harus hati-hati menggunakan instrumen BI Tate untuk hal yang tidak wajar. Gara-gara defisit transaksi berjalan, BI harus naikkan BI Rate. Karena kemarin terbukti tidak efektif kenaikan BI Rate untuk tekan defisit transaksi berjalan," paparnya.