Senin 09 Dec 2013 14:13 WIB

KPPU Sulit Buktikan Kartel Bawang Putih

Rep: Meiliani Fauziah/ Red: Nidia Zuraya
Bawang putih
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Bawang putih

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pengawas dan Persaingan Usaha (KPPU) kembali mengadakan sidang terbuka terkait importasi bawang putih, Senin (9/12). Pada sidang ini, agenda Majelis Komisi yaitu mendengarkan saksi ahli yaitu Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dita Wiradiputra.

Berdasarkan peraturan dan perundangan terkait hukum persaingan usaha, peran kartel pada proses importasi bawang putih sulit dibuktikan. Kartel dalam hal ini diartikan sebagai suatu kesepakatan yang dibuat suatu pelaku usaha bersama pelaku usaha lainnya dengan tujuan mempengaruhi harga.

Adapun persyaratan kartel salah satunya yaitu harus ada pelaku usaha yang punya kemampuan mengatur produksi. Padahal dalam kasus ini pengaturan pasokan diatur oleh pemerintah. Kementerian  Perdagangan (Kemendag) menjadi pihak yang memberikan kuota atas rekomedasi Kementerian Pertanian (Kementan).

"Kalau misalnya hendak mengatakan ini kartel, pelaku usaha yang ada (importir bawang) harus punya kemampuan penuh untuk memasukkan produksinya terlepas dari ketentuan pemerintah," ujarnya di kantor KPPU, Senin (9/12).

Namun ia melihat pemerintah sesungguhnya bisa berbuat lebih banyak. Apabila kedua kementerian misalnya merasa bahwa produk bawang putih langka, seharusnya bisa melakukan antisipasi dengan berbagai instrumen. Pemerintah bisa memberikan izin, lisensi untuk memasukan produk bawang putih ke dalam negeri kalau pasokan memang kurang. Atau, pemerintah menunjuk satu pihak untuk menjadi stabilisator, seperti saat pemerintah menunjukkan Bulog untuk melakukan impor daging ketika harganya melonjak.

Sejauh ini dikatakan belum ada bukti yang menunjukkan secara langung bahwa importir mencoba melakukan kesepakatan dengan tujuan menghambat pasokan di pasar. Keberadaan kartel membutuhkan bukti seperti rekaman atau notulen. Dalam Undang-undang Persaingan Usaha No 11 tahun 1999 juga, pergerakan harga yang terjadi tidak bisa menjadi bukti kalau pelaku usaha melakukan kartel.

"Kalau di pemeriksaan tidak ada bukti yang mengarah secara langsung, seperti rekaman atau notulen yang dilakukan beberapa pihak, sepertinya bisa dikatakan bahwa hal tersebut (kartel) tidak ada," katanya.

Lebih lanjut, ia melihat bahwa kasus ini bisa lebih mudah ditangani dengan menggunakan peraturan yang terdapat dalam Undang-Undang Pangan dibandingkan dengan peraturan persaingan usaha. Dalam undang-undang pangan misalnya, ada peraturan yang menetapkan jangka waktu pasokan pangan berada di gudang. Apabila pelaku usaha walaupun sudah mengikuti prosedur tetap bersikeras menahan produknya di gudang, maka bisa dikenakan hukuman sesuai pelanggaran yang dilakukan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement