Senin 02 Dec 2013 19:10 WIB

Ekonomi Syariah, Harapan Masa Depan Indonesia

 Ribuan warga mengikuti jalan santai memeriahkan acara peluncuran Gerakan Ekonomi Syariah (GRES!) di Lapangan Silang Monas, Jakarta, Ahad (17/11). (Republika/Aditya Pradana Putra)
Ribuan warga mengikuti jalan santai memeriahkan acara peluncuran Gerakan Ekonomi Syariah (GRES!) di Lapangan Silang Monas, Jakarta, Ahad (17/11). (Republika/Aditya Pradana Putra)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra/Wartawan Republika

 

Sangat mengagetkan! Jakarta ternyata tidak masuk tiga besar pusat ekonomi syariah dunia. Tiga kota teratas yang sangat prospektif dalam mengembangkan ekonomi Islam tersebut adalah Dubai, Kuala Lumpur, dan London. Khusus London jelas sebuah ironi.

 

Ekonomi syariah identik dengan negara yang memiliki sistem pemerintahan Islam atau mayoritas penduduknya Muslim. Namun, Indonesia yang merupakan negara dengan basis penduduk Muslim terbesar di dunia malah jauh tertinggal ketimbang Inggris.

 

Padahal, perkembangan ekonomi syariah di Indonesia sudah berjalan dua dekade lebih. Hal itu ditandai dengan beroperasinya Bank Muamalat pada 1991, sebagai titik awalnya. Memang perbankan syariah mengalami kemajuan, tapi lajunya sangat lambat.

 

Tolok ukurnya adalah pasar perbankan syariah, yang menurut Bank Indonesia (BI) pada 2013, masih di bawah lima persen. Meski begitu, aset perbankan syariah sudah mencapai Rp 179 triliun atau tepatnya 4,4 persen dibandingkan total aset perbankan nasional.

 

Perinciannya, aset itu tersebar di 11 bank umum syariah (BUS), 24 bank syariah dalam bentuk unit usaha syariah (UUS), dan 156 bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS). Pada Desember 2012, jaringan kantor perbankan syariah mencapai 2.574 unit atau meningkat dari 1.692 kantor pada 2011. Dengan demikian, jumlah kantor layanan naik sebesar 25,31 persen.

 

Sebagai perbandingan, Malaysia yang sudah 30 tahun mengenal perbankan syariah sudah memiliki pasar 20 persen. Hanya beda 10 tahun, tapi perbandingan penguasaan pasar sangat timpang. Merujuk fakta itu, jelas ada yang tidak beres dengan perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Sebagai negara yang penduduknya sekitar 86 persen Muslim, keberadaan bank syariah masih terpinggirkan.

 

Padahal, jika mengacu sesama negara serumpun, hambatan dan tantangan yang terjadi di Indonesia dan negeri jiran pasti tidak jauh berbeda. Aturan dan sistem yang diberlakukan Pemerintah Malaysia, misalnya, sangat berpihak terhadap perkembangan perbankan syariah.

 

Keberpihakan Pemerintah Malaysia terlihat timpang jika melihat regulasi di negeri ini. Meski demikian, tidak ada salahnya pula bagi setiap perbankan syariah di Indonesia untuk bisa instropeksi diri dalam mengembangkan sistem ekonomi syariah.

 

Pasar menjanjikan

Walaupun memiliki pangsa pasar kecil, perbankan syariah sangat beruntung mampu menunjukkan kinerja cemerlang. Pertumbuhan perbankan syariah sangat tinggi hampir 37 persen atau melebihi pencapaian perbankan konvensional. Performanya dalam mengumpulkan dana pihak ketiga (DPK) sebesar Rp 137 triliun juga mengundang decak kagum. Yang paling fenomenal adalah total pembiayaannya sebanyak Rp 139 triliun.

 

Capaian DPK itu tumbuh 32 persen dan pembiayaan naik 40 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Ini menandakan penyaluran dana ke masyarakat melebihi jumlah DPK. Data itu menunjukkan tingkat rasio intermediasi (FDR) di atas 100 persen, yang berarti fungsi pengelolaan dana perbankan syariah sangat positif.

 

Pertumbuhan perbankan syariah memang sebuah keniscayaan. Pada 2011, jumlah pemilik rekening sebanyak 9,8 juta nasabah. Hingga akhir tahun lalu, tercatat jumlah pemilik rekening ialah 13,4 juta nasabah. Berarti, dalam setahun bertambah sebesar 3,6 juta nasabah.

 

Jika dibandingkan dengan hasil studi pada 2008, terjadi kenaikan kepemilikan rekening di bank syariah sekitar 1,3 persen. Bahkan, pada tahun ini, jumlahnya diprediksi bakal meningkat cukup drastis.

 

Berdasarkan data tersebut, potensi pasar perbankan syariah masih sangat terbuka lebar. Dengan ratusan juta penduduk yang belum memiliki rekening di bank, kita harus percaya bahwa masa depan bank syariah sangat cerah. Alhasil, bukan angan-angan kosong apabila nantinya Indonesia malah masuk dalam jajaran pusat industri syariah dunia.

 

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan Indonesia berpotensi menjadi pusat ekonomi syariah dunia. Dua faktornya adalah status negeri ini sebagai negara Muslim terbesar di dunia dan semakin meningkatnya kelas menengah yang mencapai 100 juta orang.

 

Presiden SBY mendukung Gerakan Ekonomi Syariah (Gres!) sebagai upaya ekspansi untuk menyebarkan keunggulan sistem ekonomi syariah. “Ekonomi syariah (adalah) ekonomi nenek moyang yang harus dibangun di setiap daerah. Saya dukung gerakan ini sebab meningkatkan kemandirian dan ketahanan bangsa," katanya.

 

Orang nomor satu di negeri ini sangat optimistis edukasi dan sosialisasi potensi, serta pemanfaatan ekonomi syariah di Tanah Air akan lebih meningkat lagi pada masa mendatang. Selama sembilan tahun masa pemerintahannya, berbagai inisiatif pengembangan ditempuh demi mendorong sistem ekonomi syariah berkembang signifikan. “Aset industri perbankan syariah meningkat hampir 14 kali, atau rata-rata tumbuh 151 per tahun. Selain itu, sejumlah kejadian penting sejarah keuangan syariah Indonesia juga telah kita wujudkan,” kata Presiden saat mencanangkan Gres! di Jakarta belum lama ini.

 

Sejarah baru yang dimaksud Presiden adalah pencanangan Gres! yang menandai dimulainya babak anyar dalam agenda nasional. “Kita juga ingin menjadikan negeri kita sebagai pusat keuangan syariah dunia, sekaligus terintegrasi dengan sistem internasional berbasis syariah,” katanya.

 

Maka itu, melalui Gres! diharapkan, masyarakat di seluruh penjuru nusantara berperan lebih aktif dalam pengembangan ekonomi syariah.

 

Tahan krisis

Keunggulan ekonomi syariah adalah pada faktor resiliensinya terhadap krisis ekonomi dunia belakangan ini. Presiden menginginkan sistem ekonomi syariah dapat menjadi salah satu solusi dalam mengurangi ataupun mencegah terjadinya krisis keuangan global. Jika hal itu terealisasi, eksesnya adalah dapat meningkatkan daya bangkit ekonomi dalam negeri terhadap dampak negatif gejolak keuangan global.

 

Dia menyatakan tatanan sistem perekonomian global tengah menghadapi tantangan serius. Padahal, banyak negara maju mengadopsi sistem, yang teori dan konsepnya menjadi sumber pemikiran dan gagasan perekonomian dunia. Belajar dari fenomena krisis ekonomi dunia yang datang silih berganti, sudah selayaknya sistem, kebijakan, dan etika perekonomian Indonesia perlu diperbaiki.

 

Pernyataan Presiden bukan sekadar retorika. Menteri Keutuhan Masyarakat Inggris, Baroness Warsi, mengungkapkan kegesitan pemerintahannya dalam menangkap peluang potensi ekonomi syariah dunia. Menurut dia, keterlibatan negaranya dalam pengelolaan model keuangan syariah lantaran tidak ingin kehilangan pasar global yang sedang tumbuh.

 

Saat ini, terdapat 22 bank di Inggris yang menawarkan produk syariah, dan lima di antaranya sepenuhnya (full flege) berbasis syariah. Beberapa bank malah sudah mengeluarkan 37 sukuk senilai 30 miliar dolar AS atau sekitar Rp 451 triliun, yang semuanya terdaftar di London Stock Exchange.

 

Kepada the News International, ketua UK Islamic Finance and Investmen Group ini menjelaskan, ekonomi syariah telah memberikan perbankan sebuah pelajaran tentang etika dan moral. Alhasil, penerapan ekonomi syariah sangat sesuai dengan misi perekonomian negaranya sekaligus memanfaatkan sumber daya ekonomi kaum Muslim Inggris sebanyak lima persen dari total populasi.

 

Cetak biru ekonomi syariah

Mengacu perkembangan perbankan syariah yang lebih maju di Eropa, kita jadi bertanya-tanya, apakah perkembangan perbankan syariah selama ini sudah dievaluasi atau dibiarkan berjalan tanpa arah? Jika memang baru serius diperhatikan akhir-akhir ini, tentu patut disayangkan.

 

Pengusaha Muslim, Soetrisno Bachir, mengatakan Indonesia termasuk lambat dalam mengambil manfaat dari keuangan syariah. Dia mengapresiasi digulirkannya Gres!. Namun, gerakan itu wajib diimplementasikan dengan agenda yang jelas dan sistematis agar tidak menjadi simbol seremonial semata. Sinergitas antara masyarakat dan pemerintah juga harus secara serius ditingkatkan.

 

Pasalnya, sektor keuangan syariah yang menunjukkan perkembangan tidak lebih berkat inisiatif masyarakat atau komunitas. Pertumbuhan kelas menengah Muslim turut memacu pertumbuhan secara signifikan aset perbankan syariah. Karena itu, Soetrisno mengingatkan agar dukungan pemerintah tidak bersifat musiman.

 

Yang tidak boleh ketinggalan, ujar Soetrisno, pemerintah hendaknya merumuskan cetak biru (blue print) keuangan syariah Indonesia. Cetak biru bisa menjadi pegangan yang menjadi bagian penting dan menyatu dengan program Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Panjang Nasional. “Pemerintah di negara lain sangat serius mendorong pertumbuhan ekonomi syariah, padahal populasi Muslimnya tidak sebanyak di Indonesia,” katanya.

 

Jika pemerintah serius menggerakkan berbagai instrumen yang dimilikinya untuk membangun ekonomi syariah, hal itu merupakan langkah efektif untuk memberdayakan masyarakat. Hingga Maret 2013, sebanyak 28,07 juta orang masuk kategori miskin dan menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mengentaskannya.

 

Jika Malaysia saja bisa, mengapa Indonesia tidak. Asalkan kita mau memperbaiki diri dan melakukan koreksi terhadap kebijakan yang tidak pro terhadap perkembangan bank syariah, jangan berharap industri syariah dapat maju.  Saat ini, bank syariah bagaikan macan yang sedang tidur. Ketika sudah terbangun, perannya bisa semakin besar.

 

Bahkan, malah bisa dianggap sebagai ancaman bagi perbankan konvensional. Satu yang tidak bisa dielakkan, perbankan syariah merupakan harapan masa depan Indonesia. Ketua Presidium ICMI, Marwah Daud Ibrahim, mengatakan ekonomi syariah dapat menjadi pilar kemandirian perekonomian rakyat menuju kesejahteraan. Pasalnya, ekonomi syariah merupakan wujud praktis dari ekonomi kerakyatan, yang menjadi sumber harapan masa depan bangsa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement