Jumat 29 Nov 2013 17:08 WIB

Mengail Pundi dari Terapi ‘Rabbani’

Tomura Pijat Syariah
Foto: tomurapijatsyariah.blogspot.com
Tomura Pijat Syariah

Oleh A Syalaby Ichsan

REPUBLIKA.CO.ID,  Di ruko berlantai dua itu, pagi dimulai dengan khusuk. Para penghuninya terlihat sibuk bersujud. Mereka memohon kemurahan  Sang Pencipta untuk hari yang akan dilalui. Dengan ritual Shalat Dhuha, 'pasukan berseragam oranye' itu mengawali hari.

Ruko yang berdiri di Jalan Pramuka No 92, Kuningan, Jawa Barat, itu menawarkan jasa pijat. Gambar sepasang telapak kaki besar yang berisi titik-titik refleksi tampak menonjol di depan pintu. Banner besar berlatar kuning menasbihkan identitas Tomura  sebagai tempat pijat berlabel syariah.

Tomura Pijat Syariah melayani pijat refleksi sesuai dengan prinsip syariah. Untuk kaum adam yang bakal menggunakan jasa pijat ini, jangan harap akan mendapatkan pelayanan dari perempuan seksi seperti kebanyakan tempat pijat konvensional. Dengan seragam menutup aurat, para terapis berseragam ini akan memijat sesuai dengan jenis kelamin masing-masing.  

Pemilik Tomura Pijat Syariah, Adam Nova, mengungkapkan dia mulai menambahkan label syariah untuk Tomura sejak 2010 lalu. Adam  mengklaim, Tomura adalah satu-satunya tempat pijat berlabel syariah di Indonesia.

"Selama ini pijat itu asosiasinya ‘esek-esek’. Kita coba keunikan baru pakai label syariah, dengan pria memijat pria dan  perempuan untuk perempuan di ruangan terpisah," ujarnya saat berbincang dengan RoL, beberapa waktu lalu.

Tidak hanya label syariah yang disematkan, Tomura juga membuat karyawannya menjiwai prinsip tersebut. Adam mengungkapkan, karyawannya diberikan pembinaan Islami untuk dapat melayani para pelanggan sesuai dengan label syariah.

Kewajiban menjalankan shalat lima waktu, Shalat Dhuha, dan menyelenggarakan pengajian rutin menjadi proses pembinaan kepada para karyawan. Mereka pun diwajibkan untuk tersenyum kepada para klien.

Prinsip syariah juga diterapkan untuk penghasilan karyawan. Menurut Adam, manajemen Tomura menjalankan sistem bagi hasil untuk pendapatan para terapis. Dari fee klien yang didapatkan, mereka kebagian jatah 40 persen. Sementara itu, Tomura mengambil 40 persen dan 20 persen lainnya digunakan untuk operasional.

Dengan sistem ini, penghasilan setiap terapis di Tomura pun berbeda-beda, sesuai dengan kinerjanya. "Kisarannya antara Rp 2 juta hingga Rp 4 juta," ujarnya. Selain bagi hasil, terapis seringkali mendapatkan tips dari klien yang diberikan dengan sukarela. "Bisa Rp 20 ribu, Rp 50 ribu, kadang Rp 100 ribu," katanya.

Dengan label syariah, omzet Tomura berangsur naik. Adanya 'Cap hijau' tersebut membuat para pengunjung tak takut untuk datang ke tempat pijat miliknya. Adam mengungkapkan, prinsip syariah yang dijalankan Tomura membuat para klien merasa aman dari praktik maksiat.

Sejak 2011, Tomura mampu menaikkan tingkat pendapatan hingga Rp 30 juta per outlet setiap bulan. Dengan enam outlet yang aktif, Tomura mampu mengumpulkan pendapatan hingga Rp 180 juta per bulan. Padahal sebelum menggunakan label syariah, setiap outlet Tomura hanya mampu mendapatkan omzet sekitar Rp 15 juta per bulan. "Tingkat kunjungan pun bertambah hingga 20 persen," tuturnya. 

Masih berhubungan dengan bisnis pemijatan, tren pijat dengan metode hidroterapi - terapi air - saat ini pun sudah mengundang minat warga, khususnya kelas menengah atas.

Layanan sehat pakai air atau disebut SPA, tersedia di hampir seluruh hotel berbintang. SPA diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 1205 Tahun 2004 tentang pedoman persyaratan kesehatan layanan sehat pakai air (SPA).

Dalam beleid ini disebutkan, SPA adalah upaya kesehatan tradisional menggunakan perawatan menyeluruh dengan metode kombinasi keterampilan hidroterapi, pijat secara terpadu untuk menyeimbangkan tubuh, pikiran, dan perasaan.

SPA pun berbeda dengan tempat terapi pijat seperti Tomura yang tidak menggunakan terapi air. Namun, mereka memiliki kesamaan 'nasib'. Seperti tempat pijat, masih sedikit SPA yang memiliki label syariah dan menjalankan prinsip syariah. Tidak sedikit juga terapi pijat dan SPA yang citranya  masih lekat dengan  layanan seks.

Jarangnya penyedia layanan SPA syariah ditangkap sebagai peluang oleh sebuah pengembang hunian mewah di Surabaya, Jawa Timur. Groundbreaking 'Club House and SPA Syariah'  diresmikan di kompleks hunian mewah, The Gayung Sari. Pada Sabtu (9/11) pagi, tempat SPA syariah satu-satunya di Surabaya itu pun mulai dibangun.

Lokasi seluas 3.500 meter tersebut terletak persis di Jalan Gayung Sari, Surabaya. The Gayung Sari menawarkan 200 unit rumah dengan kisaran harga mulai Rp 1,5 miliar. Meski menjadi salah satu fasilitas hunian, club house ini bakal dapat dikunjungi  masyarakat umum, termasuk para wisatawan yang mampir ke Surabaya.

Marketing Manajer The Gayung Sari, Florencius Haryo, mengungkapkan club house ini akan dibuka tahun depan. Selain SPA, ujarnya, tersedia fasilitas olahraga dan minibar yang juga menerapkan prinsip syariah. Haryo menegaskan, tidak akan ada makanan atau minuman beralkohol yang disediakan di minibar tersebut.

Menurut dia, SPA tersebut akan menyediakan terapis sesuai dengan gender. Untuk klien lelaki akan dilayani oleh terapis lelaki, demikian untuk klien perempuan. Haryo pun mengaku tidak main-main untuk tenaga terapis yang akan melayani para tamu. Club  house tersebut, ujarnya, akan mengambil terapis berpengalaman, langsung dari Bali.

Dia mengungkapkan, label syariah sengaja disematkan untuk mengundang perhatian publik. Menurut dia, tidak ada satu pun tempat SPA yang berani menggunakan label tersebut di Surabaya. "Ini akan menjadi SPA syariah pertama," ujarnya dengan semangat.

Dengan menjalankan prinsip syariah, Haryo menjelaskan, club house tersebut akan terhindar dari stigma layanan 'esek-esek' yang selama ini menempel di industri SPA Tanah Air, khususnya Surabaya. Keluarga klien pun, ungkapnya, tidak perlu merasa was-was jika suami atau istri menikmati fasilitas SPA.

Haryo bukanlah seorang Muslim. Akan tetapi, dia mengaku, menjalankan bisnis dengan prinsip syariah tidak bertentangan dengan keyakinannya. Menurut dia, bisnis jasa layanan 'Rabbani' tersebut menguntungkan karena menjadi ceruk pasar baru di Surabaya. "Banyak orang yang ingin dilayani dengan layanan syariah," katanya menjelaskan.

Label syariah tidak hanya disematkan di tempat terapi pijat dan SPA yang berdiri mandiri. Ketua Asosiasi Hotel dan Restoran Syariah Indonesia (Ahsin), Riyanto Sofyan, menjelaskan sudah ada beberapa hotel yang  menawarkan fasilitas SPA  dan terapi pijat syariah kepada tamunya.

Dia memberi contoh,  Hotel Sofyan, yang terletak di Jl Cut Meutia, Jakarta, memberi layanan terapi pijat syariah. Selain itu, ujarnya, terdapat Hotel Madani di Medan yang memiliki fasilitas SPA syariah.

Menurut dia, ada juga tempat pijat dan SPA lain yang sudah menjalankan prinsip syariah, dengan menggunakan terapis sesuai dengan gender klien."Tapi, mereka belum menggunakan label," katanya menjelaskan.

Riyanto menyatakan, standar label syariah dalam bisnis jasa, seperti pijat dan SPA, sudah mutlak dibutuhkan oleh pariwisata Indonesia. Banyaknya turis dari timur tengah, seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, yang memperhatikan penerapan prinsip syariah saat melayani wisatawan, ujarnya, harus ditangkap sebagai peluang.

Dia mengklaim, SPA dan terapi pijat tercatat sebagai tempat usaha yang paling sering dikunjungi oleh wisatawan selain hotel, restoran, serta biro wisata dan perjalanan. 

Sofyan pun mengungkapkan, jika ingin mengundang minat wisatawan, terapi pijat dan SPA syariah sebaiknya memperhatikan empat unsur yang seringkali menjadi kebutuhan wisatawan, khususnya Muslim.

Pertama, produk halal dengan sistem jaminan halal. Produk halal ini dapat tecermin dari bahan material yang digunakan untuk SPA hingga makanan dan minuman halal tanpa alkohol. Kedua, kemudahan untuk bersuci di kamar mandi dan toilet. "Misalnya, toilet disediakan air bukan hanya dengan kertas atau tisu."

Berikutnya, kemudahan untuk beribadah. Menurut dia, penyedia jasa SPA dan pijat harus memikirkan mushala yang layak. Tak hanya itu, Riyanto mengimbau agar petugas penerima tamu dapat mengingatkan soal waktu shalat. Terutama, jika klien datang pada waktu rawan, seperti antara Ashar ke Maghrib dan Maghrib ke Isya.

Terakhir, ujarnya, objek wisata harus kondusif terhadap nilai-nilai Islami. Dia menjelaskan, sangat penting bagi turis Muslim untuk disambut dengan petugas berpakaian sopan dan lingkungan yang menciptakan suasana keislaman, sehingga tamu akan betah. Mereka tidak akan sungkan untuk kembali dan menjadikan tempat tersebut sebagai referensi.

Sementara itu, otoritas penerbit sertifikasi halal, yakni Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetik (LPPOM) MUI sudah berinisiatif untuk menyusun pedoman pijat dan SPA sesuai syariah.

Direktur LPPOM MUI, Lukmanul Hakim, menjelaskan standar tersebut diperlukan untuk menerbitkan sertifikat halal bagi para pelaku industri.

Menurut dia, pengaturan pedoman pijat dan SPA syariah tidak hanya terletak pada terapis yang harus sesuai gender dengan klien. Untuk mendapatkan kategori halal, pemilik usaha juga harus memastikan materi yang digunakan tidak mengandung unsur haram. Misalnya, minyak atau krim yang digunakan untuk pijat juga bahan-bahan hidroterapi untuk SPA harus dipastikan halal.

 Dia menjelaskan, sebenarnya sudah ada industri SPA dan pijat yang mengaplikasikan prinsip syariah. Akan tetapi, umumnya mereka belum tersertifikasi halal. Oleh karena itu, Lukman mengungkapkan, secara bertahap, pihaknya akan mengelola sertifikasi halal untuk industri jasa penyokong pariwisata syariah tersebut. "Tapi, sifatnya tidak memaksa atau sukarela," ujar Lukman.

Untuk perhotelan yang memiliki jasa SPA, misalnya, sudah ada beberapa nama yang mendaftar ke LPPOM untuk disertifikasi. Sedangkan untuk terapi pijat dan SPA mandiri, dia mengaku masih belum ada yang masuk ke dalam daftar LPPOM.

Penyokong Wisata Syariah

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) sudah menandatangani memorandum of understanding dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk kampanye pemberlakuan syariah di tempat SPA.

Direktur Pengembangan Wisata Minat Khusus, Konvensi, Insentif, dan Event Kemenparekraf, Achyaruddin, mengaku pihaknya bersama Dewan Syariah Nasional MUI  sedang menyusun standar pedoman syariah untuk SPA.

Menurut dia, potensi pasar untuk industri penyokong wisata syariah ini begitu terbuka. Kemenparekraf sempat melansir,  terdapat 1,8 miliar warga bumi yang memeluk Islam sebagai agama. Artinya, ada 28 persen penduduk Muslim di dunia dari total populasi dunia yang ada saat ini.

Pada 2011, tercatat  1.270.437 orang jumlah wisatawan Muslim yang pelesir ke Indonesia. Mereka berasal dari Singapura, Malaysia, Rusia, Arab Saudi, Bahrain, dan Uni Emirat Arab. Mereka pun memberi kontribusi 126 miliar dolar AS untuk devisa negara. Jika digarap serius, Achyaruddin optimistis kontribusi wisatawan syariah untuk ekonomi negara, termasuk industri terutama di sektor jasa, bakal semakin meningkat.

Selain menguntungkan dari segi bisnis, dia mengungkapkan, penerapan syariah pada jasa pijat dan SPA membantu memperbaiki citra bisnis jasa ini yang saat ini coreng moreng. Dia melansir, dari semua bisnis SPA yang ada di Indonesia, masih separuhnya belum tersertifikasi dan terdaftar. Mereka pun rentan menawarkan jasa seks. "Masih fifty-fifty," ujarnya.

Menurut dia, potensi pertumbuhan SPA di Indonesia amat besar. Pada 2011, mantan menteri Pariwisata dan Kebudayaan, Jero Wacik, sempat mengungkapkan pertumbuhan jasa kesehatan hidroterapi ini mencapai angka 7 persen. Jero pun berani menyebutkan, perolehan SPA di Tanah Air nomor tiga terbesar di dunia, setelah Cina dan India.

Akan tetapi, Achyaruddin mengungkapkan angka itu baru sebatas asumsi untuk pertumbuhan bisnis SPA yang ada di Bali. Padahal, tuturnya, hampir di setiap daerah di Indonesia memiliki tradisi usaha SPA dengan cirinya masing-masing. Dia pun mengaku sedang menghitung pertumbuhan itu. "Angka pastinya baru akhir tahun," katanya menjelaskan.

Data dari Asosiasi SPA Indonesia (Aspi), terdapat 1.200 tempat SPA yang sudah sesuai standar Kementerian Kesehatan pada 2012. Sekretaris Jenderal Aspi, Judit Emma Ticoalu, mengungkapkan mereka bisa mendatangkan omzet sekitar Rp 40 juta hingga Rp 75 juta untuk usaha SPA kecil. Sedangkan untuk yang besar, bisa di angka Rp 200 juta hingga Rp 400 juta per bulan belum dipotong pajak. "Ini baru ancer-ancer-nya," ujarnya.

Akan tetapi, dia menjelaskan, jumlah SPA yang belum terdaftar bisa lebih banyak. Menurut dia, usaha SPA tersebut juga menawarkan jasa pijat, refleksi, dan hidroterapi. Namun, SPA yang sudah terdaftar memiliki kode etik. Tanpa standar etik, Judit mengaku, banyak SPA plus-plus yang menawarkan jasa seks kepada para pelanggan. 

Menurut Judit, adanya kampanye pijat dan SPA syariah dari Majelis Ulama Indonesia sebenarnya memberi peluang kepada pertumbuhan industri SPA pada umumnya. Tapi, dia mengaku ASPI belum memiliki data berapa jumlah industri SPA yang sudah menggunakan label dan menjalankan prinsip syariah. 

Dia mengungkapkan, SPA syariah juga sesuai dengan kode etik industri SPA yang sudah ada dalam peraturan menteri kesehatan. "Misalnya, tidak boleh berhubungan badan dan tidak boleh menyentuh bagian-bagian yang menimbulkan rangsangan," ujarnya.

Butuh Dukungan 

Wisata syariah dinilai membutuhkan dukungan dari industri jasa keuangan, khususnya perbankan syariah. Perbankan syariah dapat membangun hubungan mutualisme dengan sektor jasa dengan turut berkontribusi dalam pembiayaan.

Ketua Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia, Agustianto, menjelaskan mulai menggeliatnya sektor jasa sebagai penyokong wisata syariah seharusnya didukung oleh industri keuangan. Menurut dia, pihak perbankan dan pembiayaan syariah dapat  melihat pembiayaan untuk para pelaku industri di sektor riil tersebut sebagai peluang. 

"Jadi, lembaga keuangan syariah harus masuk ke sektor-sektor ini karena peluangnya cukup besar dan sejalan dengan pertumbuhan peningkatan kelas menengah di indonesia," katanya, saat berbincang dengan RoL.

Dengan merebut sektor jasa syariah, institusi keuangan syariah dapat selangkah lebih maju ketimbang industri keuangan konvensional. Terlebih, ujarnya, jika pelaku usaha dapat melegitimasi diri sebagai usaha yang memang halal dan tidak bertentangan dengan nilai syariah. Menurutnya, potensi untuk mengambil pundi di pasar domestik dan mancanegara cukup besar.

Hanya, jelang akhir tahun 2013, pembiayaan perbankan syariah untuk sektor jasa masih di bawah angka Rp 100 miliar.  "Masih sedikit pembiayaan ke industri wisata," ujar Direktur Eksekutif Perbankan Syariah Bank Indonesia, Edy Setiadi.

Dilansir dari Bank Indonesia, data statistik pembiayaan bank umum syariah dan unit usaha syariah berdasarkan sektor ekonomi hingga September 2013 menunjukkan, pembiayaan untuk sektor jasa menyentuh angka Rp 44,75 miliar. Sedangkan untuk sektor perdagangan, restoran, dan hotel mencapai angka Rp 14,089 miliar.

Menurut dia, momentum Gerakan Ekonomi Syariah (Gres) yang diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 17 November 2013,  seharusnya membuat bank akan semakin terkoneksi dengan industri penyokong wisata. "Bank harus melihat ada potensi di sana dengan melihat multiplier-nya mendorong industri rumah tangga dan UMKM," katanya menjelaskan.

Di Lapangan Monas, Jakarta, Presiden SBY sempat berpidato kala mencanangkan Gres. Dia mengingatkan tentang fitrah ekonomi syariah yang menyinergikan antara sektor keuangan dengan sektor riil. Dengan pola ekonomi seperti ini, ekonomi syariah tidak rentan dengan pengaruh perekonomian global. "Ekonomi tidak mudah menjadi gelembung,"ujarnya.

SBY pun mengingatkan komitmen pemangku kebijakan ekonomi syariah untuk mendukung sinergi tersebut. "Saya mengajak saudara Gubernur Bank Indonesia dan Ketua Otoritas Jasa Keuangan, untuk terus melanjutkan upaya pengembangan ekonomi syariah dengan mendorong penguatan sinergi dengan pelaku industri." 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement