REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menyatakan pertumbuhan kredit pemilikan rumah (KPR) pada Oktober 2013 turun menjadi 0,54 persen (month to month), dibandingkan sembilan bulan pertama yang rata-rata tumbuh 2,42 persen.
"Ada penurunan KPR dari 2,42 persen per bulannya selama sembilan bulan pertama menjadi 0,54 persen di Oktober," kata Asisten Gubernur BI Mulia Siregar dalam sebuah seminar di Jakarta, Kamis (28/11).
Namun dia belum bisa memastikan apakah turunnya pertumbuhan KPR ini akibat ketentuan LTV atau karena suku bunga (BI rate). "Kita belum bisa mengatakan yang mana," kata dia.
Secara year on year, pertumbuhan KPR per Oktober 2013 sebesar 30,8 persen, turun dibandingkan Agustus dan September 2013 yang masing-masing tumbuh sebesar 31 persen dan 31,9 persen. Mulia mengatakan, berdasarkan sistem informasi debitur Bank Indonesia, pihaknya menemukan ada 35.298 debitur yang memiliki KPR lebih dari satu dengan total nilai Rp 31,8 triliun. "Ini lumayan (besar) ya," ujar Mulia.
Sedangkan dari hasil survei BI terhadap 5.000 responden di seluruh wilayah Indonesia, 13,9 persen KPR pertama digunakan untuk investasi. Sedangkan untuk KPR kedua, 65 persen untuk investasi dan KPR ketiga 100 persen untuk investasi.
Mulia juga memaparkan terdapat fakta menarik dalam satu tahun terakhir sebanyak 42,5 persen responden mereka memilih investasi properti dibandingkan emas, reksadana dan lainnya. Sementara itu, untuk rencana satu tahun ke depan, 64 persen responden memilih investasi properti dan 81,1 persen memilih properti karena alasan adanya ekspektasi kenaikan harga.
"Fakta lainnya yang menarik, tidak seluruh KPR dan KPA tidak sebagai tempat pertama tapi sebagai investasi dan disewakan. Ternyata semkin banyak KPR dan KPA yang dimiliki semakin besar tidak dihuni," ujar Mulia.
Mulia menilai, perbankan pun selama ini juga berani memberikan LTV yang tinggi dengan adanya ekspektasi kenaikan harga dari properti. "Kami melihat ada risiko di sini, perilaku seperti ini jauh dari sikap hati-hati. Kita tidak ingin alami krisis seperti negara lain, jadi kita harus antisipasi," kata Mulia.