Ahad 24 Nov 2013 16:15 WIB

BUMN Tidak Transparan Jual Anak Usaha

Rep: Friska Yolandha/ Red: Nidia Zuraya
Kantor Kementerian BUMN
Foto: Republika.co.id
Kantor Kementerian BUMN

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengeluhkan tertutupnya Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perusahaan BUMN yang tidak transparan dalam menjual aset-asetnya. Anggota Komisi VI DPR RI Arif Minadi mengatakan, anak usaha juga termasuk perusahaan publik sehingga transparansi seluruh aksi korporasinya diperlukan.

"BUMN merupakan aset negara, termasuk anak usahanya," ujar Arif dalam diskusi 'Mewaspadai Penjualan Aset BUMN' di Jakarta, Ahad (24/11).

Pernyataan ini merupakan reaksi atas penjualan anak usaha PT Telekomunikasi Indonesia (TLKM) yang bergerak di bisnis TV berlangganan, PT Indonusa Telemedia (Telkom Vision). Arif mengatakan, penjualan anak usaha ini tadinya tidak direstui oleh DPR. Namun entah mengapa lebih dari 80 persen saham perusahaan itu sudah berpindah tangan ke Trans Corp.

Hal serupa juga dilakukan pada anak usaha Telkom yang lain, PT Daya Mitra Telekomunikasi (Mitratel). "Telkom sudah diberitahu kalau menjual aset di atas Rp 200 miliar harus melalui persetujuan DPR," kata Arif.

DPR meminta Telkom untuk menahan diri agar tidak terburu-buru menjual anak usahanya. Pasalnya DPR perlu melakukan sejumlah kajian terkait penjualan anak usaha tersebut, apakah menguntungkan bagi Telkom atau justru sebaliknya.

Pengamat transparansi publik Agus Sudibyo mengatakan, perusahaan BUMN perlu menerapkan tata kelola perusahaan yang baik karena merupakan perusahaan publik. Sebagai perusahaan milik negara, perusahaan BUMN perlu menerapkan prinsip transparansi dan melakukan uji kepentingan publik sebelum melakukan suatu aksi korporasi, termasuk menjual anak usaha. Tapi sayangnya, perusahaan BUMN justru sering menempatkan diri sebagai perusahaan swasta. "Yang melakukan jual beli aset seperti perusahaan komersial pada umumnya," kata Agus.

Sebagai perusahaan negara, setiap kegiatan perusahaan BUMN harus jelas, seperti pengangkatan komisaris atau direksi dan penjualan anak usaha. Seluruh tindakannya harus mencerminkan kepentingan publik.

Saat perusahaan tersebut menjadi perusahaan negara, ada mandat konstitusi yang mengharuskan perusahaan melakukan sejumlah transparansi. Ketika perusahaan itu membuat satu anak usaha, mandat tersebut juga akan terjadi. "Mestinya anak usaha BUMN itu tetap berstatus sebagai badan publik dan tunduk pada transparansi yang diatur undang-undang," kata Agus.

Koordinator Investigasi dan Advokasi Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) Uchok Sky Khadafi mengatakan, sepanjang 2012 BUMN telah menghasilkan laba senilai Rp 140 triliun. Namun berdasarkan hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang masuk ke kantong pemerintah melalui dividen hanya Rp 29,9 triliun.

Aset dari total 141 BUMN selama 2012 mencapai Rp 3.534,3 triliun. Namun hanya sedikit yang memberikan kontribusi kepada pemerintah, yaitu 73 BUMN.

Tata kelola perusahaan milik negara dinilainya masih buruk. Ini dapat dilihat dari jajaran petinggi BUMN yang terdiri dari orang-orang yang tidak sesuai dengan keahliannya. "Komisaris BUMN banyak diisi oleh staf khusus presiden seperti Heru Lelono sebagai komisaris PT Bank Rakyat Indonesia Tbk TBBRI)," kata Uchok. Hal ini mendatangkan pertanyaan dan desas desus tentang pengendalian BUMN dari dalam sebagai sapi perah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement