Selasa 12 Nov 2013 15:16 WIB

Defisit Pangan di Dalam Negeri Diprediksi Berlanjut

Rep: Meiliani Fauziah/ Red: Nidia Zuraya
Stok Pangan (Ilustrasi)
Foto: BERITA JAKARTA
Stok Pangan (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketergantungan Indonesia terhadap pangan impor dinilai makin besar.  Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Darmin Nasution memprediksi defisit neraca perdagangan pun terus berlanjut di tahun-tahun mendatang. "Ada kecendrungan defisitnya makin besar," ujarnya ditemui di kantor Kementerian Perdagangan (Kemendag), Selasa (12/11).

Ia pun melihat bahwa defisit yang terjadi tidak berkualitas, karena bersumber dari pangan, seperti bawang, daging, garam. Seharusnya defisit bisa bermanfaat apabila bersumber dari impor bahan baku dan barang modal. Barang modal bisa digunakan untuk tujuan produktif sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Parahnya lagi, pangan yang diimpor seharusnya bisa dihasilkan di dalam negeri, seperti garam, daging, gula. Pada tahun 1960an misalnya, Indonesia sempat berjaya sebagai negara eksportir sapi untuk Singapura dan Hong Kong. Dahulu Indonesia juga merupakan negara eksportir gula kedua di dunia. Namun paska 70an, kecendrungan untuk menjadi importir mulai terlihat jelas.

Untuk itu diperlukan harmonisasi kebijakan kondisi ini tak semakin berlarut. Darmin menilai karut-marut persoalan pangan bersumber dari dinamika yang diciptakan sendiri. Apabila dibiarkan, ia khawatir pertumbuhan ekonomi akhirnya dijadikan alasan membanjirnya impor di negara ini.

Pemerintah seharusnya mempunyai perhitungan yang matang terhadap kebutuhan pangan masyarakat dalam kondisi apapun. Kebutuhan pangan akan meningkat mengikuti bertambahnya penghasilan.  "Kalau pangan makin lama makin banyak defisit, itu artinya kita tidak mampu mengaturnya sehingga hasil pangan itu mampu naik mengikuti penghasilan dan kebutuhan," ujar mantan Gubernur Bank Indonesia ini. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement