Kamis 31 Oct 2013 11:12 WIB

SP Jamsostek Kritisi Tim RPP BPJS Kemenkeu

Kantor Jamsostek
Foto: dok. Republika
Kantor Jamsostek

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Serikat Pekerja (SP) PT Jamsostek mengkritisi anggota tim pembahasan rancangan peraturan pemerintah (RPP) badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS) dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang relatif muda dan dinilai minim pengetahuan dan pengalaman tentang jaminan sosial.

Ketua Umum Serikat Pekerja Jamsostek, Abdurrahman Irsyadi, dalam siaran persnya yang diterima di Jakarta, Kamis (31/10), menyatakan badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS) adalah lembaga publik yang menjalan tugas negara yang sangat strategis karena menyangkut hak normatif pekerja dan masyarakat akan jaminan sosial.

"Negara berkepentingan atas terwujudnya program jaminan sosial yang relatif rumit dan kompleks, tetapi mengapa tim dari Kementerian Keuangan kami nilai pegawai baru dan minim pengalaman. Kami meragukan pemikiran mereka tentang lembaga sebesar BPJS," ujar Irsyadi.

Dijelaskannnya, BPJS mengelola dana milik pekerja sehingga harus dijamin terjaga dan tumbuh bermanfaat. Dia mengingatkan bahwa krisis Amerika Serikat salah satunya dipicu oleh Obama Care. "Berpijak dari hal tersebut sebagai negara yang baru dan sedang menata jaminan sosial bagi rakyatnya, kami mengingatkan untuk berhati-hati dalam menyusun regulasi," katanya.

Dia mewanti-wanti, tahun depan adalah saat krusial dan berpotensi kisruh, terutama dalam penanganan program kesehatan bagi seluruh rakyat secara gratis bagi masyarakat miskin dan tidak mampu. Sementara dalam penyelenggaraannya, kata Irsyadi, manfaat JPK dalam UU No.24/2011 dinyatakan tidak boleh berkurang dengan yang diterima peserta Program JPK Jamsostek atau harus lebih baik. "Serikat pekerja akan mengawal kondisi ini," katanya.

Irsyadi juga mencatat perbedaan pendapat wakil pemerintah pada Forum Konsolidasi BPJS, Sustainabilitas Pengelolaan Dana pada BPJS" di Solo (23/10) dimana pendapat wakil dari tim Kemenkeu berbeda pendapat dengan wakil dari instansi pemerintah lainnya. Kondisi ini diduga karena perbedaan persepsi atau pengetahuan yang minim tentang sistem jaminan sosial nasional dan best practice di negara-negara maju.

"Perwakilan dari Kemenkeu seperti memakai kaca mata kuda dan tidak mempertimbangkan dana BPJS sebagai penggerak ekonomi nasional seperti yang dilakukan oleh Malaysia dan Singapura dalam menghadapi krisis ekonomi pada 2008," ujar Irsyadi.

Sementara itu, Ketua Umum Serikat Pekerja Sektor Informal Indonesia, Maliki Sugito mengatakan lambannya pembahasan RPP BPJS akan berdampak secara sistemik pada pengelolaan BPJS maupun pelaksanaan program sistem jaminan sosial nasional. Dia mengharapkan terciptanya sistem dan akses yang mudah bagi pekerja sektor informal agar program jaminan sosial nasional untuk semua berlaku juga untuk pekerja sektor informal. "Jika, hal itu diabaikan maka upaya dan perlindungan dari risiko kerja hanya akan menjadi angan-angan," kata Maliki.

Dia juga mengingatkan bahwa manfaat program jaminan sosial, baik untuk program utama, maupun program tambahan, seperti tersedianya dana peningkatan kesejahteraan pekerja (DPKP) yang berasal dari laba usaha badan (BPJS) yang dikembalikan kepada pekerja tetap ada. "Itu adalah janji pemerintah dan DPR pada saat penyusunan UU BPJS," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement