Kamis 24 Oct 2013 16:38 WIB

Swasembada Daging Sapi Masih Mungkin Terwujud?

Pedagang daging sapi (ilustrasi)
Foto: Republika/Adhi Wicaksono
Pedagang daging sapi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerhati ekonomi pertanian dan peternakan Bustanul Arifin mengatakan, swasembada sapi yang digagas Dirjen Peternakan masih dimungkinkan sepanjang mendapat dukungan serius dari unsur pemerintah lainnya termasuk kebijakan. "Dengan kondisi produksi sapi saat ini agak sulit untuk mewujudkan swasembada dalam waktu dekat, butuh waktu setidaknya?lima tahun," kata Bustanul Arifin saat dihubungi, Kamis (24/10).

Dia mengatakan, Dirjen Peternakan Kementerian Pertanian membutuhkan waktu untuk mempersiapkan kebijakan berikut implementasinya termasuk penegakan hukum dan mendata kembali ternak sapi di Indonesia. Menurutnya, untuk mencapai swasembada perlu koordinasi antara Kementerian Perdagangan dengan Kementerian Pertanian sehingga kebutuhan (demand) daging sapi di dalam negeri tetap terjamin.

Ia mengatakan, untuk mencapai swasembada sapi tidak semudah membalik telapak tangan harus ada proses yang dilewati mulai dari breeding (pembiakan), penggemukan, serta pengembangan. Produksi sapi pada tahun 2011 berdasarkan hasil sensus bisa mencapai 16,4 juta ekor, tetapi pada sensus 2013 ternyata produksi sapi turun 14,2 juta ekor, turun 2,2 juta ekor, sehingga membutuhkan investasi besar untuk mengejar target swasembada.

Bustanul mengatakan, swasembada daging sapi kalau mengacu kepada target organisasi pangan dan pertanian dunia (Food and Agriculture Organization of the United Nations/ FAO) menyebutkan impor daging sapi harus di bawah 10 persen kebutuhan daging nasional. "Seharusnya demand (kebutuhan) yang mengendalikan supply (pasokan) bukan sebaliknya yang pada akhirnya membuat harga daging menjadi mahal," jelas Bustanul.

Jika melihat dari hasil sensus terakhir maka impor Indonesia seharusnya sekitar 14 - 15 persen dari kebutuhan sapi nasional. Persoalannya ketika kebutuhan produksi di dalam negeri tidak mampu memenuhi kemudian pemerintah melakukan impor melalui kebijakan yang remang-remang sehingga berujung pada kasus korupsi yang kini ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Bustanul mengatakan, agar mengembalikan Indonesia kembali swasembada sapi agak sulit diwujudkan dalam waktu dekat karena ketika harga daging menjadi mahal banyak sapi betina yang ikut dipotong peternak. Padahal ada sanksi pidananya kalau memotong sapi betina hanya saja pemerintah tidak memiliki kemampuan dalam penegakan hukum, ungkap Bustanul.

Kondisi yang terjadi di Indonesia bukan demand driven pada akhirnya tetapi marjin driven karena peternak mengambil momentum dari kenaikan harga daging sapi saat itu, jelas Bustanul. Kebijakan swasembada sapi baru dapat dilaksanakan, menurut dia, pada pemerintahan baru mendatang 2014 ke atas mengingat perlu kebijakan yang lebih tegas termasuk penegakan hukum.

Selain itu, diperlukan investasi yang sangat besar dihulu serta kebijakan yang ada sekarang didisain ulang mulai dari breeding (anakan), penggemukan, dan distribusi, serta larangan sapi yang menjadi indukan. Bustanul mengatakan, kebijakan swasembada sapi berbeda dengan tanaman pangan tidak dapat disiapkan dengan tergesa-gesa tetapi harus melalui perhitungan yang matang.

Oleh karena itu, menurut dia, dengan kondisi sekarang yang bisa dilakukan bagaimana dapat memenuhi kebutuhan di dalam negeri, barulah pada pemerintahan mendatang mulai disetting kembali produksi sapi nasional.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement