Rabu 23 Oct 2013 16:23 WIB

Nasib RFID tak Jelas

Rep: Aldian Wahyu Ramadhan/ Red: Nidia Zuraya
Alat pengendali BBM bersubsidi
Foto: antara
Alat pengendali BBM bersubsidi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana pemerintah untuk membatasi konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi melalui penggunaan radio frequency identification (RFID) sepertinya hanya sebatas wacana tanpa ada implementasi nyata di lapangan. Meski rencana tersebut sudah digaungkan sebelum pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga jual BBM bersubsidi pada 22 Juni 2013 lalu, namun hingga kini pemasangan RFID pada kendaraan bermotor belum ada kejelasan.

Deputi Direktur Pemasaran dan Distribusi BBM PT Pertamina (Persero) Suhartoko mengungkapkan, pemasangan RFID pada kendaraan belum bisa diimplementasikan. ''Yang pasti, pemasangan bersifat sukarela,'' kata dia pada jumpa pers di Kantor Pusat Pertamina, Rabu (23/10).

Menurut Suhartoko, pemasangan RFID, hanya bagi pemilik kendaraan yang mengonsumsi BBM bersubsidi. Pasalnya,  apabila tanpa RFID kendaraan tidak akan bisa mengonsumsi BBM bersubsidi.

Hingga kini, kata dia, pihaknya telah mengetes penghitungan pengisian pada enam SPBU di Jakarta. Fokusnya di satu SPBU dan pada hari ke 10 pengetesan berjalan sukses. Pihaknya akan mengetes hingga hari ke 14 supaya yakin sistem tersebut bisa berfungsi dengan baik.

Vice President Retail Fuel Marketing Pertamina Mochammad Iskandar menambahkan, pengetesan hingga hari ke 14 sangat penting untuk memastikan kinerja RFID. Persoalannya, kalau sistemnya tiba-tiba mati, seluruh pelayanan akan terganggu. Dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak apabila sistem tersebut mati ketika sudah berjalan normal.

Setiap sistem, kata Suhartoko, memiliki pengoperasian darurat (emergency exit). Ada operasi standarnya apabila ada kendala dalam sistem. Dia mengatakan, apabila sistem mati, maka fee tiap liter BBM yang keluar tidak akan dibayar kepada PT Inti. PT Inti merupakan perusahaan pemenang tender penyedia RFID. Pertamina membayar fee sebesar Rp 18 per liter kepada PT Inti selama lima tahun.

Project Executive PT Ini Jefri Wahyudi mengatakan, sebelumnya pihaknya terkendala dana terkait perubahan kurs. Alhasil harga produk menjadi membubung tinggi karena rupiah melemah.

Jefri menjelaskan, proyek besar ini mebutuhkan dan hingga Rp 4 triliun. PT Inti sudah menyiapkan modal kerja dari kredit dari perbankan. Rinciannya, 80 persen kredit dari bank dan 20 persen dari dana sendiri.

Menurut Jefri, pihaknya tidak bisa menyediakan langsung alat itu sebanyak 100 juta alat. ''Tidak ada yang bisa menyediakan sebanyak itu,'' jelas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement